"Kal..."
Tepat begitu pintu geser yang terbuat dari kayu tersebut terbuka, sebuah suara yang sudah tidak asing menyapa gendang telinganya.
Kala sejenak terhenyak. Langkah kakinya terhenti sementara kedua bola matanya menatap tak berkedip ke satu sosok lelaki, yang di masa lalu, pernah begitu dekat dengannya. Dan duduk persis di sebelahnya, satu sosok perempuan berwajah oriental tampak tersenyum ramah selagi menatapnya dengan lekat. Setelah sekian tahun berlalu, ternyata senyum itu tidak pernah berubah meskipun waktu terus bergulir dan beragam peristiwa datang silih berganti. Senyum itu masih tetap hangat, dan menenteramkan.
"Om Jonan? Tante Widuri?" Ia tatap silih berganti pasangan suami istri tersebut. Perasaannya campur aduk. Senang namun di saat yang sama sebuah perasaan tidak nyaman perlahan mengemuka.
"Kaget, ya?"
Kedua pasangan paruh baya tersebut tertawa renyah. Kedua tangan mereka bahkan kompak melambai dengan raut wajah yang terlihat begitu antusias.
"Kok kamu baru sampai, sih?"
Dan selagi Kala berusaha mencerna semua situasi yang terjadi, suara bernada manja itu terdengar.
"Kena macet, ya?"
Menoleh ke sumber suara, Kala menggelengkan kepalanya. "Aku nggak telat, kan?"
"Kamu nggak telat, Kal. Itu si Shasyanya aja yang nggak sabar nungguin kamu datang," sambar lelaki paruh baya yang biasa ia panggil om Jonan itu.
Lalu, setelah mengatakan kalimat bernada ledekan itu, lelaki paruh baya tersebut lantas tertawa dengan renyah seraya menatap ke arahnya. Dan ia hanya bisa tersenyum tanpa tahu harus bereaksi seperti apa. Ia bahkan tidak tahu apa yang harus ia katakan di situasi seperti ini. Terutama tatkala berbagai pertanyaan serentak menyeruak memenuhi isi kepalanya.
Sesungguhnya apa arti dari pertemuan ini? Kenapa Shasya tidak mengatakan apa pun padanya? Kenapa wanita itu justru menyembunyikan semua ini darinya? Apa karena merasa takut ia akan berubah pikiran dan menolak ajakannya untuk bertemu? Kenapa harus Mochi yang dijadikan alasan? Haruskah berbohong hingga sejauh itu?
"Ih, Papa..."
Suara rengekan yang terdengar manja itu kembali terdengar.
Kala menoleh, ia tatap wajah yang terlihat memerah itu dengan seksama dari kejauhan. Terlihat malu-malu namun senyum semringah tetap saja tak mampu wanita itu sembunyikan.
Kala mendesah. Berat dan penuh beban.
"Duduk dulu, Mas. Kok malah melamun di situ? Lagi mikirin apa? Kerjaan, kah?"
Suara lembut tante Widuri menyadarkan Kala.
Ia tersenyum, "lagi nggak mikirin apa-apa, Tan."
Dan satu kebohongan akhirnya terucap di bibirnya.
Setelah berkata begitu, ia maju, selangkah demi selangkah mendekati kursi kosong yang diletakkan persis di sebelah Shasya. Lalu selagi kakinya melangkah, kembali ia edarkan pandangan ke sekeliling ruangan. Dan tepat di sudut dinding, duduk satu orang lelaki lagi.
"Hai, Wa..." sapanya pada Dewa.
Dewa menegakkan tubuhnya lalu dengan gerakan samar mengangkat kedua bahunya seraya menggeleng pelan.
Gue bener-bener nggak tau apa-apa, Kal.
Tarikan napas pelan terdengar, dan kecemasan seketika menghampiri Kala. Saat ini, ia bisa mengira-ngira apa maksud dari pertemuan ini dan kenapa Shasya menyembunyikan fakta ini darinya. Kini, ia benar-benar telah terjebak dalam situasi sulit yang sangat tidak menyenangkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Me Before You
RomanceIni tentang dunia yang tidak pernah berpihak pada yang lemah. Tentang hati yang menampung terlalu banyak kesedihan. Tentang lara yang tak kunjung sirna. Tentang bayangan dan cahaya. Dan tentang sebuah pertemuan yang mengikis badai hingga reda. Ini t...