Bab 17

118 23 9
                                    

Tidak ada tanggal kedaluwarsa untuk sebuah luka.
Karena luka, akan terus menganga untuk sebagian orang sementara sebagian lagi, memilih terjebak dan berenang-renang di sana.

***

Sudah lewat tengah malam, dingin pun semakin terasa menusuk namun entah kenapa, seluruh tubuh Kinan justru terasa memanas terutama wajahnya. Jantungnya bahkan tidak henti-hentinya bergejolak. Keras, dan semakin keras seiring langkah-langkah kaki lebar yang berjalan mantap selagi menggendong tubuhnya. Kepalanya ia rebahkan di bahu yang lebar itu sementara kedua tangannya memeluk erat leher Kala. Terasa begitu nyaman dan terlindungi. Kalau harus diungkapkan dengan kata-kata, sepertinya menjadi terlalu sederhana, kan? Tetapi ternyata tidak sesederhana itu yang ia rasakan di hatinya. Terlebih setelah lelaki itu mengucapkan satu kata yang terdengar begitu asing namun manis di telinganya. Satu kata yang masih terus saja terngiang-ngiang di dalam kepala. Satu kata sederhana namun mampu membuat hatinya berdesir dengan tak terkendali.

Dan Kinan ingin mendengarnya lagi. Ia angkat wajahnya, dan... napasnya sesaat terhenti. Oh, wajah tampan itu begitu dekat, sangat dekat hingga ia bisa melihat satu titik kecil yang muncul tatkala lelaki itu tersenyum.

"Mas..."

"Dalem..."

"Coba bilang lagi," pintanya malu-malu.

"Eh...? Kala menatap bingung, "bilang apa?" tanyanya.

"Yang barusan," cicit Kinan pelan masih dengan wajah malu-malunya.

"Dalem...???" tanya Kala sambil membuka pintu kamar. "Yang itu?" tanyanya lagi seraya menutup pintu kamar menggunakan kakinya. Bunyi nyaring terdengar namun Kinan bahkan tidak bereaksi sama sekali.

"Bukan yang itu..." Kinan menggeleng frustasi. "Yang sebelumnya lagi, Mas," ujarnya putus asa.

"Ohhhh..." Kala tersenyum, "yang itu?"

Kinan mengangguk malu-malu. Pipinya mulai merona sementara jari-jari tangannya tanpa sadar memilin-milin pelan rambut lelaki tersebut.

"Yang Mas bilang ngantuk, kan?" ucapnya namun, "bukan itu juga?" tanyanya cepat begitu melihat raut wajah sebal Kinan.

"Tadi Mas ada ngomong apa, ya?" desis Kala berusaha mengingat-ingat. "Ngajak tidur nggak, sih?" bisiknya dengan senyum dikulum. 

Ah, sudahlah! Kinan menghela napas pelan. Kembali ia rebahkan kepalanya di bahu Kala. "Nggak jadi, Mas," ucapnya.

Kala senyum-senyum sendiri. Ia bukannya tidak tahu apa yang Kinan maksud namun entah kenapa, ia ingin sekali menggoda gadis cantik ini. Melihat wajah kesalnya lebih baik daripada harus melihat luka dan air mata yang gadis itu tumpahkan. Karena ia tahu, ia tidak akan sanggup jika harus melihat lagi semua kepedihan itu di mata Kinan.

"Tunggu di sini bentar, ya," ucap Kala seraya dengan lembut menurunkan Kinan dari gendongannya dan mendudukkannya di atas wastafel.

"Mas mau ke mana?" Kinan buru-buru menahan pergelangan tangan Kala.

"Mas mau ambil baju kamu."

Kinan tiba-tiba teringat dengan ransel hitamnya dan benda tipis menerawang yang mendadak saja ada di bagian bawah ransel. Dan ia tahu siapa pelakunya.

"Biar aku aja, Mas," teriaknya panik. "Ransel aku berat," ujarnya tanpa berpikir.

"Ransel?" kernyit Kala.

"Iya," angguk Kinan ragu-ragu. "Ransel hitam yang..." ucapannya terhenti terutama saat melihat senyum dikulum lelaki tersebut. Ia hendak turun dari atas westafel namun tubuh yang bidang itu tiba-tiba saja sudah berdiri di hadapannya dan mengungkung tubuh mungilnya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 06 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Me Before You Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang