Bab 12

208 32 3
                                    

Wahai angin...
Kala riuh berubah menjadi senyap, kerinduan pada siapa yang membuat air mata tak kuasa untuk ditahan?
Lalu...
Di kala senja berubah menjadi malam, kerinduan pada siapa yang membuat dada menjadi begitu sesak?

         
                                  ***

"Kenapa menyakitinya?"

Hanya di pisahkan oleh sebuah meja, sepasang manusia berdiri saling berhadap-hadapan di dalam sebuah ruangan yang didominasi warna putih. Kesunyian yang tercipta justru menimbulkan ketegangan luar biasa.

"Jadi kau datang ke sini hanya untuk itu?"

Shasya, sang pemilik sepasang mata bulat dengan bulu mata lentik tampak menatap dengan penuh amarah lawan bicaranya. Sementara Kala, si lelaki jangkung dengan mata teduh itu hanya menatapnya dengan raut wajah dingin tanpa senyuman.

"Iya. Memangnya untuk apalagi aku datang?"

"Kau..." mengepalkan tangannya kuat-kuat, Shasya menatap penuh dendam. Dadanya naik turun karena menahan luapan emosi yang siap dimuntahkan dengan membabi buta. Terlebih melihat betapa tenangnya sang lawan bicara.

"Apa yang sudah kau katakan pada Kina, Sya?" tanya Kala masih dengan tatapan dinginnya.

"Kenapa tidak kau tanyakan sendiri padanya?"

"Setelah kata-kata menyakitkan yang kau ucapkan, apa menurutmu ia akan menjawabku?"

"Kata-kata mana yang menyakitkan? Memangnya apa yang sudah aku katakan?" tantang Shasya angkuh.

"Sya, ini terakhir kalinya aku berbicara denganmu. Ini juga terakhir kalinya aku datang menemuimu. Jadi Sya, sebelum kita menjadi orang asing sekeluarnya aku dari sini, tolong jawab saja pertanyaanku. Kebohongan seperti apa yang sudah kau katakan padanya?"

"Kau ingin memutuskan hubungan denganku begitu saja hanya karena gadis itu?"

"Kina. Namanya Kina. Dan, ya, aku bisa melakukan apapun untuknya. Apapun itu. Tapi, Sya... memangnya ada hubungan apa di antara kau dan aku?"

Wajah Shasya memerah. Giginya gemeretak, dan napasnya memburu kencang karena amarah yang siap meledak kapan saja.

"Aku tanya sekali lagi, kebohongan apa yang sudah kau katakan padanya?!"

"Kebenaran! Aku mengatakan sebuah kebenaran, Kal."

Kala menggeleng kuat-kuat. "Kebenaran? Apa kau yakin itu bukanlah sebuah kebohongan?"

"Kau tau itu benar, Kal."

"Oh, ya?"

"Kalian nggak sepadan."

"Kata siapa? Kamu, Sya?"

Shasya mendongak angkuh. "Iya."

Kala tertawa sinis.

"Jadi itu yang kau katakan padanya, ya. Tentang kesetaraan? Bibit, bebet, dan bobot?"

"Semua yang aku katakan benar, kan? Di mana letak salahnya? Kebohongan katamu? Di bagian mana aku mengatakan kebohongan?"

Kala menatap dingin. Matanya berkilat menahan amarah yang masih berusaha ia tahan.

"Mengatakan hal-hal yang menyakitkan kau anggap itu kebenaran? Apa menyinggung harga dirinya kau anggap itu juga sebuah kebenaran? Dan membuatnya merasa bersalah, hina, dan rendah juga merupakan sebuah kebenaran?"

Shasya gemetar. Tubuhnya bergetar hebat karena lautan emosi yang perlahan-lahan mulai menggulungnya.

"Berhenti mengganggu hidupku, Sya. Berhenti menyakiti orang yang aku sayangi."

Me Before You Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang