Bab 13

216 29 14
                                    

Di sebuah lapangan basket, tampak seorang pemuda berkulit gelap berlari ke sana-kemari memutari lapangan sambil memantul-mantulkan bola ke lantai sementara lima orang pemuda lainnya yang kebetulan duduk tidak jauh dari pinggir lapangan terus menerus menyoraki pemuda berkulit gelap tersebut tanpa henti.

"Yeaaahhhh, I've been brokenhearted"

Tiba-tiba saja seorang pemuda berumur kisaran 20 tahunan dengan rambut keriting acak-acakan berteriak nyaring, lalu...

"Blue since the day we parted."

Seketika koor panjang menggema yang diikuti dengan tawa membahana dari lima orang pemuda yang tengah duduk kelelahan di pinggir lapangan. Dan terus saja seperti itu setiap kali sebuah bola berwarna coklat lolos melewati keranjang.

Di pinggir lapangan basket, di suatu sore kala sinar matahari mulai melembut, Kala menatap ke tengah lapangan dengan tawa yang tak kunjung usai setiap kali sekumpulan pemuda yang duduk tidak jauh darinya kompak menyanyikan dua bait dari sebuah lagu lama.

Mereka Remi, Dhiwa, Putra, Dino, Sindu, dan Bara. Enam orang pemuda yang berasal dari Sumatera yang saat ini sedang menuntut ilmu di sebuah universitas swasta di Bandung. Dan enam orang ini jugalah yang selama hampir satu bulan ini tiba-tiba saja sudah menjadi begitu dekat dengannya.

"Duaan aja, Bang? Main bareng sama kita sinih!" ucap salah satu pemuda dengan postur tubuh paling besar di antara kelima orang lainnya satu bulan yang lalu.

Sebulan yang lalu, satu hari setelah ia mengucapkan kata-kata perpisahan itu, ia terdampar di taman ini. Dan sejak satu bulan yang lalu juga, bersama dengan Hasan, mereka resmi menjadi anggota tidak tetap geng Sumatera tersebut.

Mereka, enam orang pemuda dengan tingkah absurd yang membuat hari-harinya menjadi penuh dengan gelak tawa. Membuatnya sejenak bisa melupakan sebuah rasa yang sukses mengoyak-ngoyak seluruh kewarasannya. Sebuah rasa yang ia pikir tidak akan pernah ia rasakan lagi setelah kepergian kedua orangtuanya. Perasaan gamang karena kehilangan yang terasa begitu mengganggu. Sebuah rasa tidak nyaman yang diakibatkan oleh sesuatu yang tidak tampak namun sukses mengacak-acak hidupnya yang penuh kedamaian menjadi sebuah kekacauan.

Membuat lelah tubuhnya di setiap sore adalah salah satu jalan, dan tertawa lepas bersama keenam orang lainnya adalah jalan lain menuju kewarasan.

"Woooo...kopiiii..."

Tiba-tiba saja teriakan nyaring bergema kala seorang lelaki terlihat berjalan memasuki lapangan seraya menenteng paper bag di kedua tangannya.

"Pijjaaaaaa..."

Lalu teriakan kedua kembali bergema saat seorang lelaki lain juga memasuki lapangan. Kaki-kaki yang terjulur lelah itu kompak menekuk lalu tangan-tangan terjulur meraih kopi dingin kemudian serentak suara tegukan terdengar saling bersahut-sahutan.

"Bara, woiyyyy! Ngopi dululah sinih."

Remi, yang paling dewasa di antara kelima lainnya, berteriak keras ke arah Bara yang masih berlari mengitari lapangan basket.

"Buset, dah, Bar! Pengsan ntar kau."

Kali ini Putra, atlit basket andalan kampus tempat mereka berenam berkuliah yang memanggil.

Me Before You Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang