Bab 15

229 30 17
                                    

Pagi ini cerah sekali. Secerah wajahnya yang berwarna kemerah-merahan bagaikan dipulas perona pipi berwarna merah muda. Begitulah yang dikatakan oleh Rani, yang selama dua hari ini, memilih menemaninya yang sedang merana karena cinta.

"Jadi kata Hasan nanti malem, tuh, Mas Kala ada tanding basket dari jam 7.30 sampai kira-kira jam 9 baru kelar. Abis itu biasanya lanjut makan malem bareng anak-anak geng Sumatera."

"Ampe jam berapa, Ran?"

Rani kembali menatap ponselnya. "Hasan bilang nggak tentu juga. Kadang abis makan malam langsung pulang kadang lanjut ngobrol-ngobrol ampe tengah malem."

"Gawat! Malem ini, kan malem minggu, Ran."

"Walah, iya! Bisa makin lama itu nongkrongnya, Kin."

"Itulaaahh..." Kinan mencebik.

"Yaudah tungguin ajalah," ucap Rani cuek.

"Depan rumah Mas Kala?"

"Yaiyalaah... mau di mana lagi coba? Rumah Pak Bas?"

"Yaudah, sih, gausah nyolot gitu," lirik Kinan sinis.

"Gemes gue ama enteee," bales Rani.

"Tapi nanti temenin, ya."

"Iyaaaaa..."

"Sampe Mas Kala dateng, ya, Ran," ucapnya lagi.

"Hooh..."

"Tapi serem nggak sih, Ran? Daerah rumahnya Mas Kala, kan sepi gitu. Mana depan rumahnya banyak pohon-pohon pula."

"Malah bagus, Kin soalnya kita jadi nggak keliatan dari jalan raya. Jadi nggak bakalan ada yang ngeh kalau ada dua perempuan lucu lagi nungguin yang punya rumah pulang."

"Tapi tetep aja, Ran."

Rani yang paham buru-buru melanjutkan. "Kita ajak Anton aja sekalian, Kin. Kurus-kurus gitu dia pinter beladiri jadi aman, deh."

"Aman, sih, aman tapi Antonnya mau, nggak?"

"Mau banget dia mah," ucap Rani meyakinkan.

"Kok lo bisa yakin banget? Taunya Anton nggak mau, Ran gimana coba kalo, dah, gitu?"

"Yaudah kita ajak Pak Bas aja kalo gitu," ucap Rani cuek yang berujung wajahnya harus rela terkena hantaman benda empuk berwarna putih.

"Serius dikit napa, sik...!!!" omel Kinan sebal. "Nggak sekalian ajak Mas Dewa ama Mbak Irene?

"Wah! Boleh juga, tuh, Kin." Rani mengerjap-ngerjap lucu. "Mas Dewa aja gimana?" sambungnya lagi.

"Raniiiii..."

"Apa, Mbeeebb..." kerling Rani genit, dan pipi kemerahan yang perlahan mulai menggembung itu berhasil meluruhkan semua tawa yang sudah ia tahan-tahan sejak beberapa saat tadi.

"Kin... lo kayak nggak kenal Anton aja. Pernah nggak dia nolak permintaan kita? Pernah nggak dia ngebiarin kita ngelakuin apa-apa sendiri?"

"Iya, sih." Kinan mengangguk setuju. "Anton emang baek banget apalagi kalau sama elo..."

Dan benda empuk berwarna putih tiba-tiba saja melayang terbang melintasi meja, dan mengarah tepat ke wajah Kinan.

"Nggak usah pake dibelokin ke sana, ya, Kinan, ya," pelototnya sebal.

Giliran Kinan yang tertawa. Ia lupakan sejenak wajahnya yang baru saja dihantam bantal putih miliknya dengan telak. Ia baringkan punggungnya di lantai dingin sembari menatap langit-langit kamar di atasnya.

"Ran..." panggilnya.

"Hmmm..."

"Kalo Mas Kala nolak gue gimana?"

Me Before You Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang