Kapan sih ini cerita bisa end. Srius gw kek merasa manusia munafik bgt kalo nulis ini cerita😭
Cahaya pagi menyinari dunia dengan kehangatan, mengusir kegelapan malam dan membangunkan kehidupan. Pagi hari yang cerah terisi dengan obrolan ringan antar 2 orang dan 1 orang lainya.
"Sayang, kamu katanya mau beliin aku berlian? Mana." Amartha mengelus dada Gardanta di depan mataku.
"Emm maaf sayang, aku lupa, besok-besok aja ya?" Gardanta balas mengelus rambut Amartha.
Rasanya tidak nyaman bila terjebak dalam kondisi seperti ini.
"Kamu gak ada kelas?" tanyaku, berusaha masuk ke obrolon dua orang ini.
"Gak." Gardanta menjawab sekenanya.
"Sok peduli banget," timpal Amartha.
Aku hanya bisa menghela nafas pasrah, dan melanjutkan menonton televisi di depanku.
Bunyi sebuah bel dan ketukan pintu membuat kami saling bertatapan dengan bingung.
"Siapa?"
"Gak tau."
"Yaudah biar aku aja yang ke depan." Aku pun beranjak menuju pintu apartemen dan membukanya.
"Loh? Umi abi? kenapa ke sini? Kok gak bilang aira dulu." Kataku terkejut, lantas menyalami tangan kedua orang tuaku.
"Maafkan kita ya nak, tadi kita lagi keluar terus inget kamu. Umi ngajakin ke sini," Kata abi ku, ia mengelus kepalaku, kebiasaannya sedari dulu.
"Gapapa bi, ayo masuk."
"Umi ganggu kalian gak? Ini kita juga bawain kamu buah." Umi menyodorkan sebuah parsel buah yang langsung ku terima.
"Gak kok, umi. Kami juga lagi nyantai. Kalian harusnya gak usah repot-repot bawa ini."
Kami bertiga berjalan beriringan.
"Eh itu siapa?" Tanya umi ketika melihat Amartha yang duduk di samping Gardanta.
"Saya?" Tunjuk Amartha pada dirinya.
Mendapatkan pelototan maut dari Gardanta dan Amartha cukup membuat ku mengerti. Hingga aku pun berkata, "Dia teman Aira, mi!"
"Loh temen kamu? Umi kira teman kamu cuma Evodia." Umi terkekeh di akhir kalimatnya.
"Umiii." Aku pun mendengus sebal.
Amartha pun berdiri, menyalami tangan kedua orang tuaku. Tak pernah ku sangka, ia akan melakukan itu.
"Sudah? Boleh kami duduk?" Tanya abi.
"Maaf lupa, hehe. Ayo silahkan duduk,." Ku menggiring orang tuanya untuk duduk.
"Kalian mau minum apa? Biar aira buatin?"
"Apa aja, air putih juga gapapa."
Aku berjalan menuju dapur. Senelum sebuah suara menghentikanku.
"Tunggu!" Ucapan Amartha membuatku sontak menoleh. "A-aku ikut."
Aku hanya mengangguk dan membiarkan dia mengikutiku. Amartha membasuh tangannya dengan sabun, sedangkan aku mulai menyiapkan minuman.
"Tangan ortu lo bau, jadi kotor dan terkontaminasi ni gue."
Aku meliriknya sekilas. "Diam mu lebih baik, dari pada omongan seperti itu yang kamu lontarkan. Memang siapa juga yang menyuruhmu melakukan itu?"
"Gak ada sih, cuma gue harus bermain peran sebagai teman humaira yang baik. Gimana akting gue tadi, hm?"
"Di dunia ini sepertinya semua orang itu munafik, ya? Bahkan aku pun begitu. Tapi dengan tidak tau dirinya, aku membenci mereka yang munafik." Aku berjalan terlebih dahulu ke depan.
"Ayo diminum dulu."
"Nama kamu siapa, nak?" Tanya umi ketika Amartha datang dan duduk tak jauh dariku.
"Amartha, tante."
"Kok serasa tidak asing ya, bi?" Tanya umi yang dibalas anggukan kepala oleh abi.
"Mungkin perasaan om dan tante aja." Sela Gardanta. Kakinya pun menyenggol dan menginjak kakiku. Awalnya aku bingung, namun mengingat dia pernah menyebut² nama Amartha dulu, membuatku paham bahwa dia minta bantuan. Apa dia takut jika umi dan abi mengadukan ini pada tante hanafa dan om baswara?
"Iya, kan yang bernama Amartha bukan hanya satu." Umi dan abi tampak menyetujui ucapanku ini.
"Baik, nak Amartha ini temannya Humaira, benar?"
"Shahih¹, bi." Balasku. Sedangkan Amartha hanya membalasnya dengan anggukan.
"Jika begitu, bisakah lain kali bila bermain kesini menggunakan pakaian yang sedikit lebih sopan? Tidak enak dipandang karena di sini juga ada nak Garda." Abi tersenyum seolah memaklumi.
Ku lirik pakaian yang dipakai Amartha. Sebuah dress tanpa lengan dan tingginya sepaha (tidak sampai lutut).
Dengan wajah kaku, Amartha menjawab, "iya, maaf!"
"Tidak apa-apa saya mengerti."
Kami pun mengobrol ringan, meski aku tau bahwa Gardanta dan Amartha muak dengan semua ini, namun mereka masih terlihat ramah. Bahkan Gardanta yang dulu ucapannya sangat tidak sopan, kini ia bisa lebih menghargai kedua orang tuaku.
"Aku pamit pulang dulu ya?" Kata Amartha yang membuatku bingung.
"Loh? Yaudah ayo aku antar." Gardanta lantas berdiri.
Mereka berpamitan pada kita, lalu pergi begitu saja, menyisakan pertanyaan yang hinggap di otak ku.
"Mereka terlihat akrab." Kata umi, menyadarkanku dari lamunan.
"Garda memang begitu mi, dia sangat baik dan perhatian pada orang di sekitarnya." Terpaksa, terpaksa aku harus berbohong.
"Kamu harus hati-hati. Tidak baik suami mu akrab dengan wanita lain yang jelas-jelas bukan mahram nya."
"Iya bi."
"Ya sudah kami pulang ya."
"Kenapa buru-buru sekali?"
Abi mengelus kepalaku, "Ini sudah mulai sore."
"Aietni bisihatika, la tamrad²," kata umi.
"Thayyib³."
Selesai aku menyalami tangan mereka, mereka pun pergi.
"Kalian hati-hati di jalan."
KAMU SEDANG MEMBACA
Alzawjat Tasheur Waka'anaha Eabda (END)
Fanfiction"Kami ingin kalian menikah." "Humaira setuju saja jika kalian telah memberi restu." "Apa? gue gak mau nikah sama cewek tua kayak dia, wajahnya aja ditutupin tuh, pasti buat nyembunyiin wajah jeleknya yang berkeriput. Lagian gue juga udah punya pacar...