ATWE#17

43 7 7
                                    

Makasih atas vote dan komen kalian yang buat aku semangat. Makasih juga untuk kalian semua yang udah membaca cerita gak jelas ini.

Seperti yang telah dijanjikan, kini kami berkumpul disebuah restoran yang cukup mewah

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Seperti yang telah dijanjikan, kini kami berkumpul disebuah restoran yang cukup mewah.

Kami mengobrol ringan, pembahasan utamanya adalah hubunganku dan Gardanta.

"Jadi, kapan ini kalian mau bikinin mama cucu?" Kata tante Hanfa.

"Belum tau tan, sepertinya belum dikasih amanah berupa titipan makhluk lucu itu," Kataku gugup, hingga membuat ucapanku terasa belibet.

"Bukan belum, tapi emang gak dan gak akan pernah!" Seru Gardanta.

"Kamu mandul, Gar?" Tanya om Baswara.

"Papa kalo ngomong seenaknya aja. Gak lah, yakali seorang Gardanta Binara mandul," kata Gardanta, sangat tidak santai.

"Kamu jangan sewot gitu sama orang tua. Om Baswara kan tanyanya baik-baik," nasihatku.

"Biarin aja, nak. Garda emang gitu. Bandel!"

Tante Hanafa mulai angkat bicara, "kamu yang sabar ya kalo hadapin Garda."

"Iya tante, gapapa. Udah biasa, lagian sebenarnya Garda orang baik kok."

"Tan? Kamu udah nikah sama Garda otomatis kamu sudah jadi anaknya saya, jadi panggil saya mama."

"I-iya ma, maaf," balasku yang masih belum terbiasa dengan panggilan itu.

"Nanti kalo kalian udah punya anak tinggalnya jangan di apartemen ya? Meminimalisir kejadian yang tidak diinginkan."

"Umi jadi semakin tidak sabar menggendong cucu." Umi melempar senyum ke arahku, dan ku balas tersenyum juga.

"Tunggu ya mi, kita harus banyak sabar."

"Eh iya gimana kamu sama Amartha? Udah putus kan? Kamu gak ngeduain istri kamu kan?" Pertanyaan beruntun keluar dari mulut tante Hanafa yang ditujukan untuk Garda.

"Hah? Gak lah ma, gila aja masa Garda selingkuh."

Hey, bukankah dia memang pernah selingkuh? Bahkan mereka sudah pernah menikah meskipun di depanku.

Mata tante Hanafa tampak memicing, ada keraguan di iris matanya. "Yang bener?"

"Iya lah ma, ngapain aku bohong. Mama itu gak boleh asal nuduh gitu, gak baik," belanya.

"Maaf? Amartha? Siapa dia?" Kata abi dengan raut bingung.

Apakah mereka masih ingat tentang Amartha? Semoga saja tidak.

"Oh Amartha itu mantan pacarnya Garda, him."

"Tapi saya merasa familiar¹ dengan nama itu." Umi menimpali membuatku semakin deg-deg an saja.

"Garda pernah nyebut namanya, selain itu, kalian juga udah pernah ketemu sama dia," balas Gardanta santai.

Aku melotot tak terima, waktu itu ia memintaku untuk menutupi, dan sekarang? Ia mengumbarnya. Benar-benar tak habis pikir aku dengan kelakuan dia yang seenaknya ini.

"Kita pamit pulang dulu ya? Saya lupa kalau ada sesuatu yang harus kami lakukan," pamit abi mulai beranjak dari kursinya dan mengajak umi.

"Eh kita duluan ya, maaf dan terima kasih." Umi mulai berdiri dan berjalan.

"Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumussalam."

"Kalian hati-hati ya, mas Ibrahim, mbak Annisa." Ujar tante Hanafa.

Aku hanya bisa memandang kepergian mereka dengan sendu. Aku tau mereka pasti kecewa, tapi ini semua sudah berlalu.

"Pa, nanti bawain dokter ke Apartemen Garda ya?" ujar Garda, membuatku dan lainnya menjadi fokus menatapnya.

"Loh, kamu sakit, Gar?" Kata tante Hanafa khawatir.

"Gak kok, cuma mau ngecek keadaan aja."

"Yaudah nanti papa suruh teman papa ke apart kamu," kata om Baswara.

"Sekaranglah pa, ini kita juga mau pulang. Ayok!" Gardanta tiba-tiba menarik ku hingga membuatku berjengit kaget.

"Kita duluan ya. Assalamu'alaikum."

Gardanta membuatku melangkah cepat agar mengimbanginya. Membuatku tidak mendengar balasan kedua orang tuanya.

"Bisa cepet gak sih? Gue tinggal juga lo lama-lama," kesalnya.

"Bisa. Tapi aku mau ke swalayan yang di depan sana, boleh kita mampir sebentar?"

"Hm."

Kami pun mulai berkendara, hingga sampai ke sebuah swalayan baru dengan interior² yang cukup menarik.

"Maaf kalian dilarang masuk." Kata satpam yang berjaga tak jauh dari pintu masuk.

Kutolehkan wajahku ke kanan, kiri dan ke belakang. Tak ada orang lain.

"Kamu gak usah tolah toleh. Yang saya maksud ya kamu, perempuan yang seperti teroris itu."

"Maaf kenapa ya?" Tanyaku berjalan sedikit dekat dengannya dengan kepala tertunduk.

"Kalian boleh masuk tapi dengan syarat mbak nya lepas pelindung muka mbak, lalu mas nya lepas jaket. Atau kalo tidak kalian boleh pulang dulu untuk ganti baju dan kembali lagi nanti."

"Maksud lo apa? Lo pikir waktu gue gak penting? Dengerinnya, seumur-umur baru kali ini gue di permaluin depan umum sama orang rendahan kayak lo." Gardanta tepancing emosi.

"Maaf mas, saya hanya menjalankan tugas. Kalau anda tidak percaya, anda bisa melihat tulisan di sebelah sana."

Keadaan semakin memanas, orang-orang mulai berdatangan.

"Jalanin tugas? Tugas apa maksud lo? Tugas ngejudge³ orang? Iya?" Garda menerjang satpam itu, ia mencengkram kerah baju satpam itu.

"Kalo mas tidak terima, mas bisa pergi. Jangan macing keributan di sini." Kata satpam lain yang baru datang.

"Gar, udah." Ku tarik tangannya untuk membawanya pergi.

"Bahkan mall yang gedenya berkali lipat aja gak pernah masalahin penampilan. Ini? Swalayan yang bahkan bisa gue beli aja sombong nya minta ampun," gerutu Gardanta.

"Gue pergi bukan karena takut, gue pergi karena gue udah gak sudi nginjakin kaki di tempat ini!"

Ia menyentak tanganku dan berjalan mendahuluiku. "Maaf atas keributannya. Kalian bisa lanjutin kegiatan kalian," kataku tak enak hati.

Alzawjat Tasheur Waka'anaha Eabda (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang