ATWE#4

140 38 36
                                    

"Dulu aku sering berlari meskipun terkadang jatuh, tapi sekarang meskipun diam aku tetap terjatuh."
~Aira milik Anta, tapi Anta untuk Martha~

Aku kembali dengan sebuah nampan berisi minuman dan beberapa cemilan yang ku pegang di tangan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Aku kembali dengan sebuah nampan berisi minuman dan beberapa cemilan yang ku pegang di tangan. Mataku memanas melihat adegan yang ku lihat.

Di sana, Gardanta dan Amartha sedang bercumbu mesra. Ku cengkram erat nampan itu, namun tiba-tiba saja nampan itu jatuh hingga membuat gelas-gelas pecah berserakan.

Aku merunduk, dengan tangan bergetar, ku pungut serpihan itu.

"Lo bisa lebih hati-hati gak sih?" Bentak Gardanta. Mungkin denting itu mengganggu mereka.

"Maaf." Aku pergi setalah membereskan kekacauan yang ku ciptakan.

Melepas Niqob¹, ku basuh wajahku dengan air lalu ku pasang lagi niqob ku.

Kembali membuat jus jeruk untuk mereka. Memikirkan hal-hal positif untuk menghalau rasa sesak di tenggorokan dan mencegah air mata menetes.

Ketika aku mulai kembali tenang, ku langkahkan kakiku dengan yakin. "Ini minumnya, silahkan diminum."

Aku ingin ke kamar, namun, sebuah suara mencegahku.

"Di sini aja lo, duduk gih bareng kita!" Perintah Viernon.

Aku duduk di single sofa, menghadap tv. Terlalu fokus menonton televisi hingga entah bagaimana tiba-tiba niqobku terlepas.

Aku syok, ku tutup wajahku dengan kedua telapak tangan. Aku ingin berlari namun lagi-lagi tak bisa.

"Buka dong, pengen lihat," kata Martha.

Sebuah tangan mencengkram lenganku, hingga membuatku memberontak dan memperlihatkan wajahku.

Ku lihat siapa orang yang memegangku, Viernon. Dan orang yang menarik niqobku adalah Leander. Mungkin tadi aku terlalu fokus pada tv sampai-sampai tak sadar bila Leander ada dibelakangku.

"Wow, cantik juga." Leander menyentuh daguku tapi segera ku tepis.

"Sombong bro dia, tapi untung wajahnya cantik," timpal Viernon.

Tolong bawa aku pergi dari sini, batinku. Ku lirik Gardanta, tetapi ia sedang memeluk Martha dan tersenyum.

Hatiku sakit, mereka sangat kurang ajar. Aku berlari sekuat tenaga, tak peduli pada mereka lagi. Aku ingin menangis, ku tak mampu untuk menahannya lagi.

Meringkuk di atas kasur, dengan wajah yang ku sembunyikan di lipatan tangan untuk meredam suara isak tangis ku.

"Lebay amat lo."

Ku dongakkan sedikit wajahku untuk melihat seseorang yang mengatakan itu. Gardanta. Tega sekali dia, bukannya menolong malah menghujatku. Mulutnya sangat ingin ku pukul, setidak nya pipinya ku tampar, tapi aku tak cukup mampu dan berani untuk melakukan itu.

"Lo pasti juga diluaran sana udah sering kencan kan?" Gardanta mencengkram pipiku.

Aku menggeleng. Sesekali meringis pelan.

"Halah ngaku aja, gak usah bohong!" Katanya, melapas kasar pipiku.

"Wakafa billahi syahida²," Kataku, pasrah akan apa yang dipikirkan olehnya.

"Cih, dasar lemah." Gardanta pergi, ia melempar niqobku.

"Shahih³," gumamku, pelan.

Benar, aku memang lemah dan cengeng namun setidaknya aku bukanlah orang yang candala. Allahu khairul jaza'⁵.

Kala aku memutuskan untuk menikah, aku tak berpikir terlalu panjang. Aku tak tahu bila bersama Gardanta akan membuat hidupku sengsara. Saat itu, yang ku pikirkan adalah kebahagiaan orang-orang.

Dulu ketika zaman ku masih remaja, tak ada satupun yang seperti Gardanta Binara dan teman-temannya. Mereka semua menghormati perempuan yang menutup aurat, wanita yang lebih tua, seolah menjadikan perempuan adalah seorang ratu. Entahlah, dunia sudah berubah, bukan lebih baik malah sebaliknya.

Alzawjat Tasheur Waka'anaha Eabda (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang