ATWE#12

49 6 5
                                    

Lumayan yang lihat chapter 11. Sayang banget, vote nya cuma 4. Tapi gapapa. Makasih buat kalian, sehat² yaaa...

Rapuh, Atma¹ yang terus terguncang

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Rapuh, Atma¹ yang terus terguncang. Mereka yang mengabaikan setiap kata yang ku ucap, hingga membuatku bertanya-tanya.

Sesim duyulmuyor mu?²

Tidak, itu hanya mereka, namun tidak dengan kedua temanku dan orang-orang baik di sekitarku. Seperti saat ini,

"Ra, boleh gak si kalo aku suka sama kak Zergio? Aku nyaman sama dia, mungkin aku juga suka sama dia?" Evodia menggenggam jemariku.

Oh ya, kini kami berada di taman kampus. Duduk lesehaqn diatas rerumputan menjadi pilihan kami.

"Boleh, asal tidak melampaui batas," kataku, tersenyum tipis.

Dengan tampang memelas, ia pun berkata, "tapi apa gapapa? Kamu masih suka dia nggak?"

Aku tersenyum menenangkan. "Kayaknya enggak deh, aku baru sadar kalo rasa suka ku padanya hanya sebatas kagum."

Sepertinya benar begitu, aku baru menyadarinya setelah mengenal seorang Gardanta Binara.

"Kalo begitu berarti kamu udah cinta dong sama si Garda?"

"Untuk cinta mungkin belum, tapi kalo sayang sudah," kataku sedikit malu mengingatnya.

"Itu bagus! Tapi bagaimana dengan Amartha?"

"Hmm entahlah, aku juga bingung. Mereka sepertinya saling mencintai."

"Iya sih, pasti susah, apalagi mereka udah bucin banget."

Aku mengangguk menyetujui ucapannya. "Apa menurutmu perpisaan itu jalan yang tepat?"

"Kayaknya engga, umi sama abi pasti akan kecewa kalo kamu cerai."

Yang dikatakan Evodia ada benarnya juga. Bukankah Allah SWT membenci perceraian? Namun bila hambanya sudah tak sanggup, harus bagaimana lagi?

"Kalian lagi apa di sini?" ujar kak Zergio yang baru datang entah dari mana.

"Eh kakak, sini ikut duduk dulu kak," tawar Evodia.

Kak Zergio menatapku sekilas, ia tersenyum lalu mengambil posisi duduk sedikit jauh dari kami.

"Kalian lagi ngomongin apa tadi?"

"Itu loh kita lagi ngomongin masalahnya Aira."

"Oh ya? Emang kamu lagi ada masalah apa, Ra? Kalo aku boleh tau," tanyanya yang membuatku bingung harus menjawab apa.

Aku berpikir sejenak untuk mencari jawaban namun lebih dulu dijawab oleh Evodia.

"Biasa masalah keluarga."

Kak Zergio terkekeh. "Kayak udah punya keluarga sendiri aja kamu."

"Ya kan emang udah punya, dia punya suami," sela Evodia yang membuatku melotot kaget dan reflek menampol mulutnya.

"HAH? Gimana-gimana maksudnya?" tanyanya bingung.

Evodia mengelus bibirnya pelan, "Aduhh sakit nih!"

"Iya maaf, kamu sih kalo ngomong suka ceplas-ceplos."

"Udah kasih tau aja kak Zergio nya, dia juga gak akan ember."

"Iya juga sih, tapi..."

"Kalo boleh, ngomong aja, tapi kalo emang gak mau kasih tau juga gak apa-apa," ujar kak Zergio.

"Emm iya seperti yang Evodia bilang, aku sudah menikah beberapa bulan lalu."

"Oh ya? Siapakah lelaki beruntung itu?"

"Dia ada di sini, maba."

"Hmm jadi dia lebih muda darimu ya?"

Aku mengangguk mendengar pertanyaannya.

"Sayang banget ya? Ternyata benar-benar gak ada lagi harapan buat dapetin kamu."

Aku menatapnya, terkejut tentu saja, ku tunggu perkataannya selanjutnya.

"Terlepas dari kita yang beda agama, ku pikir kita akan tetap bisa bersama suatu hari nanti, ternyata engga ya? Aku menyukaimu, tidak, lebih tepatnya aku mencintaimu, Humaira!" Kak Zergio tertawa renyah membuatku merasa sungkan.

Ku lirik Evodia yang membuang muka. "Kak, makasih banyak untuk semuanya, dan maaf juga. Jujur saja, dulu aku juga pernah menyukai kakak. Tapi sekarang, ada seseorang yang sepertinya sudah ditakdirkan untuk kakak."

Ini lah yang ku suka untuk pertemanan ku dengan mereka, mereka mampu blak-blakan dan tidak hiprokit³.

"Siapa?"

"Tentu saja seseorang yang lebih baik dariku. Kakak tunggu saja, saat ini belum waktunya kakak tau," kataku seraya tersenyum yang tentunya tak bisa dilihat oleh mereka.

"Apa kamu bahagia selama ini bersama dia?"

"Dia?" kataku bingung.

"Hu'um." Kak Zergio mengangguk sekilas.

"Bahagia? Mungkin belum."

"Baiklah, aku tak akan menganggu mu."

"Ehemm banyak banget ya nyamuknya, sampai-sampai aku harus jadi obat nyamuk, nih!" keluh Evodia dengan nada menyindir.

"Haha kamu sih diam aja dari tadi," kataku.

"Nanti kalo aku ngomong di kacangi malah semakin sakit hati. Kan kacang mahal."

Alzawjat Tasheur Waka'anaha Eabda (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang