ATWE#14

42 5 5
                                    

Maafin ya kalo ada informasi atau apapun yang salah, maklumi aja, masi pemula. Nikmati jangan dipikirkan.

Ketika aku baru sampai dan membuka pintu, suara keributan terdengar

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ketika aku baru sampai dan membuka pintu, suara keributan terdengar.

"Lo gila? Kita udah bersama berapa tahun aja, terus lo? Lo dengan seenaknya mau minta cerai cuman gara-gara dia yang baru lo kenal?"

"Ya memang kenapa? Toh gue juga udah bosen sama lo yang udah gak bisa nurutin semua permintaan gue!"

"Gue udah berusaha ya nurutin semua keinginan lo! Tapi lo nya aja yang matre, jadi apapun yang gue lakuin pasti menurut lo kurang! Dasar lacur."

Plak

Tamparan keras mendarat di pipi kanan Gardanta, aku hanya mengamati dari jauh, apa yang mereka permasalahkan hingga membuat kericuhan.

"Sialan! Lo pikir, lo siapa berani ngatain gue gitu?"

"Kenapa gak terima? Nyatanya lo emang gak tau diri, pelacur, jalang murahan! Pergi dari apartemen gue sekarang juga!"

"Ya emang ini gue juga mau pergi, oh iya jangan lupa kalo apartemen ini atas nama gue!" Setelah mengatakan itu Amartha berjalan ke kamarnya.

"Bangsat, sialan, bajingan." Maki Gardanta.

"Kenapa?" Kataku, menghampiri Gardanta.

"Kalo gak tau apa-apa mending lo diem. Gausah sok peduli."

"Oh yaudah kalo gitu." Meski berucap demikian, nyatanya aku masih menatapnya, seolah meminta kejelasan.

"Ngapain? Pergi sana," usirnya padaku.

"Gue pergi dulu, makasih mantan!" teriak Amartha dengan menyeret sebuah koper berukuran sedang.

Gardanta hanya diam, dan berjalan dengan langkah gontai.

Aku duduk di sofa, menyenderkan kepalaku pada pinggirannya. Memikirkan apa yang terjadi diantara mereka berdua. Padahal selama ini mereka adem ayem saja.

BRUK

Bunyi sebuah benda jatuh menggema, membuatku berlari ke asal suara.

"Bajingan sialan." Marah Gardanta meninju kaca lemarinya.

Aku mendekatinya walau sedikit ragu. Menyentuh pundaknya. "Hey, are you okay?¹"

"Diem anjing. Kalian semua sama aja!" Bentak Gardanta menggebu-gebu.

Entah keberanian dari mana aku memeluknya, membuat ia menghentikan aksinya. Ia diam, tak menolak walaupun tak membalas, maka aku pun mengelus punggunya.

"Gak papa. Semua akan baik-baik aja, Garda." Kataku menenangkan.

"Lo gak ngerti apapun." Walau diucap dengan sangat pelan, aku masih mendengarnya.

"Iya, aku gak ngerti, coba kalo kamu mau ngasih tau, aku akan berusaha mengerti. Tapi untuk sekarang, tenangin diri kamu dulu."

Gardanta menjauh kan tubuhnya, ia tampak menghembuskan nafasnya pelan.

"Cewek itu, dia bawa semua duit gue, sertifikat apartemen ini, dan barang berharga gue yang lainnya." Kelakar Gardanta.

"Gue sumpahin di luar sana dia lebih menderita, dia dibuang sama selingkuhannya, terus duitnya dirampok, biar dia gila aja sekalian." Lanjutnya meluapkan emosi yang mungkin sedari tadi tertahan.

Tanganku reflek menampar mulutnya pelan. "Jahat banget mulutnya, gak baik."

"Kenapa? Lo seneng kan liat gue kayak gini? LO SENENG KAN?" sarkasnya, dengan mencengkram bahuku.

"Lepasin dulu." Aku mengelus tangannya yang berada di bahuku.

"SIALAN! KENAPA SIH SEMUA ORANG HARUS GINI KE GUE? GUE SALAH APA, BANGSAT! KALO GINI CARANYA MENDING GUE MATI AJA." Gardanta semakin mempererat cengkramannya hingga membuatku meringis pelan.

"Siapa kamu? Hak kamu apa sampai berani ngomong gitu? Hidup dan mati sudah ada yang ngatur!" Kataku, ikut tersulut emosi.

"Lo berani sama gue? Kenapa lo gak ikut pergi aja sekalian. Gue gak butuh kalian semua. Gue bisa apapun sendiri." Lirih nya.

Aku mengatur nafas, benar, Gardanta tidak bisa dilawan dengan kekerasan. "Makannya kamu kalo ngomong dipikir dulu. Kamu gak bisa menyimpulkan apapun dengan berpikir pendek.

"Atas dasar apa lo berani ikut campur masalah gue?"

"Dengerin aku, ya? Bagimu mungkin aku bukan siapa-siapanya kamu, tapi bagiku, kamu itu suamiku, Zawji²," kataku memberi pengertian padanya.

"Udah ngomongnya? Mending sana lu pergi. Makin muak gue yang ada."

Aku hanya bisa tersenyum dan menahan kekesalan di dada. Baru juga tadi luluh sebentar, sekarang udah balik aja sikapnya seperti semula.

"Tunggu apalagi? Sana hus hus." Ia mendorong-dorong tubuhku dan mengibaskan tangannya.

"Gue kayaknya perlu mandi kembang³ tujuh rupa. Bisa-bisa gue rabies nanti," gumamnya yang kudengar sebulum aku benar-benar pergi dari hadapannya.

Alzawjat Tasheur Waka'anaha Eabda (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang