ATWE#11

65 8 4
                                    

Kalo ada typo tandain ya, sorry banget kalo ceritannya ngebosenin. Maafin alurnya melenceng. Kalian nyaman gak si kalo kadang pake lo-gue kadang pake aku.

Dengan hadirnya Amartha di sini tentu saja membuat seorang Gardanta bahagia

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Dengan hadirnya Amartha di sini tentu saja membuat seorang Gardanta bahagia. Namun apa aku juga bahagia? tentu tidak. Kata orang, cinta itu pengorbanan, dimana kamu bahagia ketika melihat orang yang kamu cintai juga bahagia. Tapi apakah kamu akan turut bahagia jika kamu tersingkirkan?

Seperti saat ini,

"Sayang, setelah sarapan ini kita keluar jalan-jalan ya?" kata Gardanta, yang membuatku menoleh ke arahnya.

''Boleh-boleh, aku mau ke mall, nonton sama ke taman juga."

Miris, disini aku seolah pembantu yang memasak pagi-pagi buta, dan seakan hanya sebuah pajangan jika makan di meja yang berisi pasangan romantis ini.

"Apa aku boleh ikut?" tanyaku. oh ayolah, aku juga kesepian dan bosan jika hari libur seperti ini.

"Enggak!" kata Gardanta spontan.

"Boleh banget," ujar Amartha dengan senyuman manis yang entah kenapa membuatku curiga.

Gardanta merengut tak suka "Loh? Aku gak mau dia mengganggu kita nanti."

"Dia gak akan ganggu, bukannya lebih enak kalo rame-rame?"

"Yayaya terserah."

"Yaudah ayo berangkat, pake mobil gue aja." katanya antusias.

Sesampainya di mall aku berjalan di belakang mereka, layaknya pembantu yang menemani majikannya berbelanja. Hanya mengikuti, kemana dua insan itu menapak kan kaki.

"Apa dia seorang pembantu?"

"Bukankah dia terlalu wow jika hanya untuk menjadi pembantu."

"Tapi lihatlah itu."

Bisik-bisik itu membuat telingaku panas, rasanya aku ingin mengatakan pada dunia bahwa aku ini istrinya, ISTRI SAHNYA!

"Nih, bawa!" Amartha menyerahkan 2 paperbag kepadaku.

"Apa maksudnya ini?"

"Tinggal bawa aja susah banget." Gardanta mencibir.

Jadi ini alasan mereka mengizinkan aku ikut? Jika seperti ini harusnya aku di rumah saja, bodoh kamu ra.

Kegiatan itu terus saja berlanjut, terhitung dengan paperbag di tanganku yang bertambah seiring berjalannya waktu.

Menghembuskan nafas lelah. Sumarah¹, hanya itulah yang bisa ku lakukan

"Kamu jadi nonton?" Suara dari manusia di depanku mampu menyadarkanku.

"Jadi, habis ini." Amartha masi sibuk dengan baju-baju dihadapanya.

"Lo kalo mau pulang, pulang aja sana, udh gk dibutuhin lagi," sinis Gardanta.

Aih, harusnya aku sudah terbiasa dengan ucapannya, namun rasa sakit dan nyelekit itu tetap ada.

Aku berpikir sejenak. "Aku bareng kalian aja deh, lagian di rumah juga gak ngapa-ngapain."

Bohong, jujur aku juga ingin pulang, tapi tahukah kalian jika aku hanya membawa uang sedikit, aku takut kurang jika dipakai naik taxi. Selain itu, aku juga tidak mau meninggalkan kalian berduaan.

"Gue udah sepet lihat lo," sarkas Gardanta, aku hanya pura-pura tak mendengarnya saja.

Terus berjalan, untuk ke bioskop yang ada dj mall ini.

"Lo dari pada diem aja mending beliin kita tiket," suruh Amartha kepadaku.

"Kenapa gak kalian aja? Atau kalau nggak kita bareng-bareng."

"Lo gak liat? Antrean nya banyak, ogah gue desak-desakan."

Gardanta menimpali, "Biar aku aja!" Ia lantas beranjak pergi.

"Gara-gara lo! Garda jadi harus dempet-dempetan sama cwe lain." Amartha mendorongku dengan telunjuknya.

Aku menatapnya berani. "Kok aku? Aku gak nyuruh dia! Harusnya kamu introspeksi diri sendiri dulu sebelum ngomong ke orang lain."

"Udah mulai berani ya lo!"

Tangannya melayang, berniat menamparku, aku mencekal dan menghempaskannya. Namun, ntah kenapa ia terduduk dan seolah terjatuh.

"Garda! Dia ngedorong aku, aduhh," adu nya pada Gardanta yang baru saja datang.

Aku menggeleng ribut. "Engga, aku enggak dorong Martha," kataku menyakinkan.

"Kenapa?" Gardanta membantu Amartha berdiri.

"Dia gak suka ku suruh bawa barang-barangku, dia ngedorong aku, dia bilang aku orang ketiga dalam hubungan kalian."

Wanita ini ternyata sangat licik dan sangat pandai dalam bersilat lidah. Munchausen?² itu kata yang tepat untuk menggambarkan sifat nya saat ini.

"Maksud lo ngomong dan memperlakukan dia kayak gitu apa?" Tanya Gardanta menatapku nyalang.

"Aku gak bermaksud."

"Kita pulang, gak jadi nontonnya." Gardanta menarikku, ia meremat tanganku kuat.

"Tapi tiketnya? Kalian kalo mau pulang duluan gapapa tapi tiketnya bisa ku ambil? Sayang kan udah di beli, aku mau nonton, sama temen-temenku, boleh?" Ujar Amartha.

Dalam sekejap, Gardanta mengubah ekspresinya. "Boleh, dong, ini!" Menyerahkan tiketnya.

"Makasih banyak!" Ujar Amartha senang. Dia senang, lalu bagaimana dengan nasibku?

"Yaudah aku pulang duluan ya?" Gardanta mengecup kening Amartha mesra.

Dia menyeretku pulang, mengikat lenganku, memngunciku di gudang yang gelap.

"Gue akan lepasin lo nanti, kalo Martha udah pulang!"

Dan meninggalkanku...

Alzawjat Tasheur Waka'anaha Eabda (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang