Entah sudah berapa puluh kali Alexa mengecek ponselnya. Dia terus menyalakan, mematikan, menyalakan dan terus mematikan layar ponselnya. Namun nama laki-laki itu masih belum muncul. Ini sudah pukul setengah sepuluh malam dan Narel masih belum menghubunginya. Padahal selama ini laki-laki itu selalu sangat rajin menggangunya.
Tapi sekarang?
Satu huruf pun tidak ada.
Alexa berdecak jengkel. Kenapa Narel belum menelpon atau bahkan memberi satu pesan pun?
Apa Narel sudah mulai bosan?
Apa Narel tidak mau lagi mengejarnya?
Tapi kenapa?
Apa Alexa sudah tidak cantik lagi?
Mendapat pemikiran seperti itu membuat Alexa mengaktifkan kamera depan ponselnya. Gadis itu mengusap-ngusap wajahnya yang masih semulus biasanya, menyisir rambutnya yang selembut biasanya. Atau bau badannya?
Ahh, mustahil.
Setiap kali dia keluar, orang-orang selalu menanyakan parfum apa yang ia pakai karena memang Alexa sewangi itu.
Lalu, kenapa?
Alexa menghentakkan kakinya jengkel. Puluhan pertanyaan yang di awali 'mengapa' terus saja terngiang di kepalanya. Mengapa Narel tidak menghubunginya lagi? Mengapa Narel menyerah begitu saja? Mengapa Narel tidak lagi peduli padanya?
Mengapa dan mengapa.
Lalu mengapa dia malah jadi uring-uringan sendiri?
Padahal selama ini Alexa akan senantiasa bersikap cool saat para laki-laki itu berbombardir dirinya. Justru mereka lah yang selalu uring-uringan di buatnya. Terus kenapa Alexa malah bersikap di luar dirinya sekarang?
Atau mungkin karena dia telah terbiasa mendapat gangguan intens dari Narel sehingga saat laki-laki itu berhenti, Alexa merasa tidak terbiasa.
Ya, pasti seperti.
Cahaya yang sedari tadi sedang duduk bersisian dengan Alexa merasa terganggu. Wanita itu melirik anaknya dengan jengkel. "Kamu kenapa sih, Al? Berisik banget Mama jadi keganggu nih nonton sinetronnya."
Alexa nyengir. "Enggak kok, Ma. Silahkan lanjutkan nontonnya. Al mau ke kamar aja."
Namun jiwa gosip Cahaya sudah terlebih dahulu terpanggil. Melihat putri satu-satunya yang biasanya secerah mentari di siang hari kini berubah bagai tertutup awan kelabu. Cahaya tentu saja penasaran. "Sebenarnya ada apa? Ayo cerita sama Mama. Tenang aja Mama enggak akan ngasih tahu Papa atau Bang El kok. Ini rahasia antar cewek."
"Ah, enggak ada rahasia apa-apa kok, Ma." Alexa masih mengelak.
"Udah, jujur aja. Muka-muka kamu ini kayak orang yang lagi patah hati."
"Patah hati?" Alexa menunjuk dirinya sendiri sambil tertawa merendahkan. Baru kemudian dia melanjutkan. "Mustahil!"
"Eh, enggak mustahil lah. Enggak peduli seberapa kuatnya manusia mereka pasti merasakan satu kali patah hati dalam hidupnya. Dan Mama bisa lihat dalam dirimu kamu, Alexa. Kamu sedang memasuki awal dari patah hati."
Benarkah seperti itu? Kedengarannya benar-benar mustahil. Alexa itu seseorang yang berpendirian kuat. Dia tidak akan pernah memasukkan dirinya pada sesuatu yang bisa turut serta melibatkan perasaannya. Alexa tidak pernah peduli pada perasaan para lelaki yang ia dekati. Tidak juga peduli tatkala mereka memilih untuk pergi.
Semuanya begitu sederhana. Karena Alexa tidak sekalipun melibatkan perasaannya.
Pada Narel pun sama.
Namun mendengar perkataan Cahaya barusan membuat pendiriannya sedikit terusik. Benarkah Alexa tengah patah hati? Pada siapa? Narel?
KAMU SEDANG MEMBACA
Lemonade
RomanceNarel tidak akan mengelak jika seseorang menyandingkan Alexa dengan segelas lemonade yang dingin. Meski manis dan menyegarkan, Narel masih bisa merasakan sensasi kecut di ujung lidahnya. Karena memang seperti itu lah Alexa. Cantik dan mempesona. N...