Bab. 8

759 118 6
                                    

"Kenapa harus Tiara yang mengalami hal seperti itu, Rel? Kenapa bukan Kakak saja?" Gugu Vina. Hari ini Tiara harus kembali dirawat di rumah sakit setelah gejala penyakitnya kambuhnya, dia mengalami demam tinggi dengan rasa nyeri di sekujur tubuhnya. Sebagai seorang ibu Vina tentu saja tak kuasa melihat putri semata wayangnya harus menderita seperti itu. Seandainya bisa, Vina lebih memilih agar dirinya saja yang sekarang terbaring di ranjang yang dingin dibandingkan Tiara.

Tak kuasa melihat Vina yang menangis tersedu-sedu, Narel menarik perempuan itu ke dalam dekapannya. Menepuk punggung Vina dengan lembut dan berusaha menenangkan. Saat membawa Tiara ke rumah sakit Vina masih terlihat tegar namun sesaat setelah dokter memasuki ruangan, Vina tak lagi kuasa menahan ketenangan yang sebelumnya selalu ia tunjukkan di depan Tiara.

"Kakak harus tetap tegar, aku yakin Tiara pasti bisa melewati semua ini. Tiara adalah anak yang kuat, dia tidak pernah mengeluh sedikitpun. Kita hanya harus terus berada di sampingnya dan memberi yang terbaik untuk Tiara."

"Tapi karena itu, Rel. Karena Tiara tidak pernah sekalipun mengeluh membuat Kakak makin sedih. Demi Tuhan, Tiara baru 10 tahun! Dosa apa yang telah Kakak lakukan sampai anak Kakak harus menderita seperti itu?!"

Narel semakin mengeratkan pelukannya ketika suara Vina makin meninggi. Narel tahu, Vina sudah tak lagi kuasa menahan kesedihan yang bergejolak di hatinya. Mengenal Vina sejak usia belia membuat Narel amat mengetahui sikap Vina. Terutama saat Vina akhirnya menikah dengan kerabatnya—meski sekarang telah bercerai—Narel jadi makin mengenal sosok Vina yang sebenarnya. Vina itu seseorang yang pekerja keras dan tidak mudah mengeluh bahkan jika hidupnya tergonjang-ganjing. Dengan posisinya sebagai seorang ibu tunggul, dia rela mengerjakan beberapa pekerjaan sekaligus demi membiayai pengobatan Tiara yang tidak murah. Bahkan jika tubuhnya yang semula cantik terawat kini lebih kurus, Vina masih berjuang tak mengenal lelah.

Meski begitu, kesedihan yang telah dia tahan selama 2 tahun lebih masih tidak bisa terbendung.

"Jangan seperti ini, Kak. Tiara pasti ikut bersedih melihat Ibunya menangis seperti ini," Narel lalu menarik dirinya dan mengusap pipi Vina yang sembab oleh air mata. "Kakak tidak perlu khawatir, aku akan selalu ada untuk kalian. Bahkan aku rela melakukan apapun agar Tiara bisa sembuh."

"Terimakasih, Rel. Kakak enggak tahu lagi harus balas kebaikan kamu seperti apa lagi."

Narel mengulas senyum simpul. "Kakak tidak perlu merasa terbebani, aku ikhlas bantu Kakak. Lagipula aku sudah anggap Kakak dan Tiara seperti keluarga aku sendiri dan sudah sepatutnya bagi keluarga untuk saling membantu."

Vina terseguk. "Terimakasih, Rel... terimakasih."

***

"Kak Arel."

Narel yang tengah termangu, langsung tertarik kembali ke kenyataan ketika suara lirih Tiara terdengar. Laki-laki itu langsung melangkah ke sisi ranjang, memperhatikan Tiara yang baru saja terbangun dari tidurnya.

"Mama mana?" Tanya gadis kecil itu.

"Mama sedang istirahat," Narel menunjuk sosok Vina yang tengah tertidur di sisi sofa besar di ujung ruangan. "Mama pasti lelah setelah bekerja, Tiara sama Kak Arel aja ya?"

Tiara mengangguk. Ada sedikit gurat rasa bersalah di matanya ketika melihat wajah Vina yang kelelahan.

"Tiara, mau minum?" Tawar Narel sebelum akhirnya menuangkan segelas air hangat yang sudah Vina sediakan sebelumnya. Narel kemudian turut mengambil sebuah sedotan plastik untuk memudahkan Tiara.

Setelah meminum setengah gelas air hangat, Tiara kembali berbaring. Pandangan gadis itu berkelana ke sekitar ruangan, lalu beralih pada lengannya. Narel menahan sedihnya saat melihat perubahan ekspresi Tiara begitu menemukan ruam kemerahan yang menjalar di sepanjang lengannya. Tiara juga menyentuh wajahnya, seolah menebak kalau wajahnya juga memiliki banyak ruam.

LemonadeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang