Fakta yang disembunyikan

95 5 0
                                    


"Ibu, kenapa?"

Vania bergegas mengendalikan diri begitu menyadari sikapnya membuat Sania dan juga Bram kebingungan.

"Oh, hahah maaf. Ibu pasti buat Nia bingung, Ya?" Vania mengusap pipi putrinya dengan ibu jari, "Ibu enggak kenapa-napa kok."

"Kamu yakin?" Bram tentu tidak akan percaya ucapan Vania begitu saja, "Atau kamu mau pulang sekarang aja?"

Itu adalah tawaran yang menarik, Vania jelas akan langsung mengangguk jika tidak memikirkan Sania. Perempuan itu tidak bisa selamanya menghindari Satya dan juga keluarganya, terlebih lagi setelah dewasa nanti Sania berhak mengetahui siapa ayah kandungnya.

"Enggak, hahaha. Aku baik-baik saja Bram, serius."

Bram memandang Vania lama, lelaki itu baru mengangguk ketika Vania terlihat semangat menambah pesanan mereka kepada pelayan.

"Kalau enggak habis, nanti bisa dibungkus untuk dimakan di rumah." Jelas Vania kepada Sania yang memprotes tindakan Ibunya menambah menu, "Lagian, Om Bram pasti lapar lagi setelah kita sampai di rumah nanti."

"Ah, tolong jangan ingatkan aku soal macetnya jalan pulang nanti. Biarkan aku menikmati makanan ini saja, oke?"

Sania terkikik, "Jangan sedih, Om Bram. Nanti Nia temani Om Bram sambil nyanyi lagu Disney."

Bram mengerang, sedangkan Vania tertawa. Ke dua orang dewa itu sama-sama tahu sesumbang apa suara Sania ketika bernyanyi.

***

"Kalian pulanglah lebih dulu."

Bianca spontan melirik Nyonya Hartono, perempuan paruh baya itu sepertinya masih terlalu terkejut karena pertemuan tidak sengaja mereka dengan Vania di restoran ini.

"Memangnya Mas Satya mau ke mana dulu?"

Tatapan mata Satya yang tajam menelan keberanian Bianca.

"Jangan banyak tanya, pulanglah bersama Mama."

Bianca mengangguk, perempuan itu sudah akan menyandang tasnya ketika lagi-lagi lengannya dicekal.

"Ingat peran kamu, Bianca." Satya menggeram.

"Ah, iya." Bianca memajukan tubuh, mengecup pipi Satya dengan cepat, "Aku pulang dulu ya, Mas."

"Iya, hati-hati." dari ujung matanya, Satya memastikan jika Vania menyaksikan itu semua.

"Kamu jangan kebanyakan kerja Sat, ini weekend. Seharusnya kamu lebih banyak di rumah."

"Aku juga maunya begitu, Ma." Satya memandang Bianca dengan senyum terkulum, "Tapi aku harus menyelesaikan pekerjaan ini dulu agar bisa tenang di perjalanan bulan madu kami yang ke tiga nanti, kamu ngertikan, sayang?"

"Iya, Mas. Aku ngerti kok."

Satya tersenyum puas, lelaki itu mendekatkan kepala untuk mengecup kening Bianca meski sudut matanya terus memperhatikan Vania yang tiba-tiba saja bangkit dari duduknya.

"Ibu mau cuci tangan dulu, Nia habiskan makanannya ya."

"Iya, Ibu."

Bianca terus memperhatikan Satya yang tidak bisa mengalihkan tatapan dari Vania, begitu juga ekspresi Nyonya Hartono yang suram. Tidak ingin membuang waktu lagi, Bianca bergegas menuntun Nyonya Hartono meninggalkan restoran setelah memeluk Satya cukup lama.

"Kamu enggak akan percaya sama apa yang baru saja aku alami!"

Bianca mengirimkan pesan kepada Rahardi, perempuan itu melakukannya setelah memastikan Nyonya Hartono yang duduk di sampingnya cukup sibuk dengan pikirannya sendiri.

"Aku bertemu Vania, Mas. Bahkan bukan cuma Aku, tapi Satya dan juga Mama. Kami semua bertemu Vania hari ini."

"Jangan bercanda, Bianca. Aku sibuk."

Bianca mengirimkan foto yang berhasil ia ambil secara diam-diam.

"Tidak mungkin!"

"Sekarang kamu percaya, kan?"

"Anak perempuan itu...?"

"Namanya Sania, putri Vania."

"Sialan!"

Bianca melirik ibu mertuanya sekilas.

"Kamu harus cepat mengambil keputusan, Mas. Mama jelas sangat terkejut karena bertemu Vania dan putrinya, kamu pasti enggak mau kan kalau Mama akhirnya menyerah dan memberi tahu Satya kebenarannya?"

"Mama enggak akan melakukan itu, menjaga nama baik Hartono jauh lebih penting dibandingkan mengakui status anak itu."

"Jangan remehkan perasaan seorang nenek, Mas. Biar bagaimanapun Sania adalah cucunya, kamu enggak bisa membantah hal tersebut."

Bianca mengulum senyum, perempuan itu bertekad akan terus mempertahankan posisinya sebagai menantu keluarga Hartono, entah menjadi istri Satya atau menjadi istri Rahardi.

"Kamu harus mulai mengambil keputusan, Mas. Mama mungkin akan membawa anak itu ke dalam keluarga Hartono jika kamu atau Prisilla tidak segera memberikannya penerus." Bianca tidak akan memberikan kesempatan Rahardi untuk berpikir, "Hanya aku yang bisa menyelamatkan nama baik keluarga Hartono, Mas. Tinggalkan istri kamu yang enggak berguna itu, kemudian nikahi aku. Kita akan memberikan cucu yang lucu untuk Mama, dengan begitu kalian enggak perlu lagi khawatir Vania akan kembali dan mendatangkan aib bagi keluarga Hartono."

Bianca tersenyum puas, Rahardi kelihatan beberapa kali sibuk mengetik. Tatapi tidak ada satu pun pesan yang terkirim, lelaki itu pasti sedang kalut sekarang. Keluarga Hartono sangat menjunjung tinggi nama baik dan juga harkat dan martabat yang sudah terjaga sejak jaman nenek moyang. Kehadiran Vania, menjadi aib pertama keluarga Hartono karena asal usul perempuan itu yang dinilai tidak jelas.

"Pikirkan baik-baik, Mas. Mana yang jauh lebih penting bagimu, nama baik keluarga atau seorang istri tidak berguna yang sekarang terbaring koma di rumah sakit?"

"Anak itu kelihatan sehat dan lincah."

Bianca memasukkan ponselnya secepat mungkin ke dalam tas tangannya.

"Sudah berapa umurnya sekarang, sekitar lima tahun ya." Nyonya Hartono masih sibuk bergumam.

"Ma...."

"Oh, Bi." Nyonya Hartono memperbaiki posisi duduknya, "Mama sempat memikirkan hal yang tidak perlu."

"Anak itu terlalu mirip dengan Vania, Mama yakin perempuan itu enggak benar-benar selingkuh dari Satya?"

Nyonya Hartono bukannya tidak memikirkan kemungkinan tersebut, ketika mengusir Vania dari rumahnya dulu ia benar-benar berharap bahwa anak yang dikandung Vania bukan milik Satya. Tapi mata anak perempuan bernama Sania itu tidak bisa menipunya, mata itu milik Satya.

"Ma..., kita sudah bersusah payah sampai sejauh ini. Mama enggak bisa menyerah sekarang, ingat bagaimana susahnya almarhum Papa dan yang lainnya menjaga nama baik keluarga Hartono." Bianca mengelusi punggung tangan mertuanya, "Lupakan saja anak itu, mari hidup dengan keyakinan bahwa Sania bukan putri Satya, toh kenyataannya Satya memang sulit memiliki keturunan. Jadi enggak mungkin di usia pernikahan yang baru satu tahun, Vania sudah mengandung."

"Kita harus membicarakan hal ini dengan Prisilla dan Rahardi."

Senyum Bianca semakin mengembang, perempuan itu kembali mendapat kesempatan untuk mendesak sulung keluarga Hartono.

"Tentu, kita bicarakan setelah sampai rumah nanti ya. Sekarang Mama enggak perlu terlalu banyak berpikir, semua akan baik-baik saja."

Nyonya Hartono mengangguk, perempuan itu masih tidak dapat berpikir dengan jernih. Ingatannya selalu terbayang wajah Sania, meski anak itu mengambil seluruh ciri fisik Vania, nyonya Hartono bisa merasakan jiwa Satya ada di dalam diri anak itu.

Cara Sania tertawa, bercerita dan menatapnya benar-benar mengingatkanya akan Satya kecil yang periang dan sedikit jahil.

"Apa yang harus aku lakukan jika Sania benar-benar putri Satya, apa yang harus aku lakukan, Tuhan." Bisik Nyonya Hartono sembari memijat pelipisnya.

CINTA YANG KADALUARSATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang