Iya, Boleh

264 24 2
                                    

"Sudah sampai, Pak."

Satya mengangguk, tapi lelaki itu tidak juga turun dari kendaraannya.

"Eng, Bapak ada yang ketinggalan? Mau puter balik dulu ke kantor?"

Satya menggeleng, lelaki itu hanya belum menemukan alasan yang tepat untuk di sampaikan kepada Baskoro karena pagi ini Satya datang tanpa pemberitahuan dan juga persiapan.

"Ck! Kita kembali saja." Ucap Satya lelah karena tidak bisa menemukan Alasan untuk berkunjung

"Ibu!"

"Berhenti."

Supir kantor Satya spontan menginjak rem, terkejut dengan perintah tuannya yang tiba-tiba. Sedangkan Satya sama sekali tidak peduli, lelaki itu sibuk mengamati sosok bocah perempuan yang berlari sembari mengacungkan map berwarna biru.

"Astaga, Ibu lupa. Hampir saja hari ini pekerjaan Ibu kacau." Vania menerima map yang disodorkan Sania dengan perasaan lega. "Makasih ya sayang."

"Ibu pelupa, harus rajin-rajin tidur siang." Sania terkikik.

Satya memperhatikan interaksi Ibu dan anak itu dari dalam mobil, hatinya ngilu karena berharap bocah perempuan cantik dan periang itu adalahnya putrinya. Buah cintanya bersama Vania.

"Nia, astaga. Enggak boleh langsung lari begitu, Nak."

Perhatian Satya teralihkan ketika pintu pengemudi kendaraan di sebelahnya terbuka. Satya melihat lelaki seusianya berjalan mendekat, meraih anak kecil yang semula sedang berbicara dengan Vania. Lelaki bertubuh kekar itu jelas memberikan teguran halus, karena alih-alih merajuk, bocah perempuan itu mengangguk dengan penuh pengertian.

"Pak?"

Satya mengabaikan sopirnya yang kebingungan, pandangan lelaki itu masih lekat memperhatikan Sania yang memajukan tubuhnya untuk memberikan kecupan selamat tinggal kepada Ibunya.

"Semangat kerjanya Ibu, nanti pulangnya Nia jemput."

"Iya, Nia jangan nakal ya hari ini."

Tangan Satya terkepal, marah karena Vania terlihat bahagia sedangkan dirinya sama sekali tidak bisa tidur nyenyak setelah malam itu. Satya bahkan kehilangan kepercayaan dirinya sebagai laki-laki, selama lima tahun lebih menikah tidak sekalipun Satya bisa menyentuh Bianca.

"Kita jadi pergi, Pak?"

"Enggak." putus Satya begitu kendaraan di sampingnya berlalu, "Kamu tunggu sini, saya harus menemui klien di dalam."

"Baik, Pak."

***

Satya berusaha senatural mungkin ketika berdiri di samping Vania yang sedang menunggu lift, sudah pukul setengah sepuluh, antrian tidak terlalu ramai. Hal yang sangat di syukuri oleh Satya.

"Anak kamu cantik, berapa usianya?"

Vania terkejut, sama sekali tidak menyangka jika Satya akan muncul di kantornya pagi ini.

"Pak Satya?" Vania bergegas mengeluarkan ponsel, "Saya enggak mendapat pemberitahuan jika bapak mau berkunjung hari ini."

"Memang, ini urusan urgent. Sekretaris saya belum sempat menghubungi kamu dan saya enggak tahu nomor kamu yang sekarang."

Vania mengangguk, "Eng, saya enggak tahu apa Pak Baskoro cukup luang untuk di temui hari ini."

Satya menyeringai, "Tidak masalah, kamu bisa membantu saya melengkapi berkas perkara yang kemarin."

Vania mengangguk, meski perempuan itu tetap memberikan laporan kepada Baskoro melalui ponselnya.

"Anak kamu, berapa usianya?"

CINTA YANG KADALUARSATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang