Bukan sekedar atasan dan bawahan biasa

180 23 0
                                    

"Nia buatnya pakai meses warna-warni, biar kegiatan Ibu hari ini penuh warna."

Harapan Sania benar-benar terkabul. Begitu menginjakkan kaki di mejanya, Vania benar-benar merasakan banyak emosi di dalam hatinya. Semua berawal dari Baskoro, atasan baru Vania di kantor. Lelaki itu meminta Vania mendampinginya dalam meeting, perusahaan memang sedang sangat serius menggugat produk material yang diakui secara sepihak oleh competitor.

"Kamu pelajari baik-baik Van, ini kasus yang serius. Beruntung kita mendapatkan Satya Hartono sebagai pengacara, yah, walau perusahaan harus membayar cukup mahal untuk itu."

Vania nyaris menjatuhkan pajangan kesayangan atasannya, begitu nama Satya disebut. Hanya ada satu Satya Hartono yang terkenal di Indonesia dan itu adalah mantan suaminya.

"Ah, dia sudah di lobi. Ayo, kita harus bersiap menyambutnya." Baskoro memperhatikan wajah sekretarisnya yang pucat, "Kamu baik-baik saja, Van?"

"Sa.... Saya," Vania berusaha sekuat tenaga untuk mengontrol diri, ia baru satu minggu bekerja. Lagi pula, masa depan Sania terlalu berharga untuk dikalahkan dengan rasa takutnya untuk berhadapan dengan Satya, "Saya baik-baik saja Pak."

"Minumlah dulu, wajah kamu benar-benar seputih kapas sekarang."

Vania menurut, menarik napas beberapa kali untuk menghilangkan tremor.

"Kamu tunggu di sini saja, siapkan berkas yang saya butuh kan untuk meeting nanti." Ucap Baskoro penuh pengertian.

"Baik, Pak."

Vania bersandar dengan lemas, sebisanya menahan tangis. Keadaannya tidak boleh lebih kacau dari ini atau Baskoro akan curiga, sayangnya pertahanan diri Vania runtuh begitu meeting selesai. Perempuan itu tidak lagi sanggup berdiri tegak, memandang punggung Satya yang sedang membicarakan sesuatu dengan Baskoro.

Vania memilih berbalik, mencari toilet dan menumpahkan seluruh perasaannya di sana. Vania menangis, karena perasaan rindu, marah dan kecewa yang menjadi satu.

***

Lima tahun lalu, enam bulan setelah berkas perkara perceraiannya disetujui oleh pengadilan. Vania menerima sebuah undangan, desain sampulnya yang mewah menunjukkan bahwa siapa pun yang saat itu sedang berbahagia bukanlah orang sembarangan.

Satya Hartono & Bianca Raharjo

Nama tersebut tercetak rapi dengan sepuhan emas, Vania bahkan harus berkali-kali membulak balik undangan di tangannya. Vania merasa perlu meyakinkan diri, karena Satya tidak mungkin secepat itu melupakannya.

"Ini enggak mungkin, pasti ada yang salah. Aku harus memastikannya sendiri, Bude."

Sari menggeleng, memeluk keponakannya yang bernasib malang. Sejak kecil, Vania sudah di tinggalkan oleh kedua orang tuanya karena kecelakaan lalu lintas. Bude Sari satu-satunya kerabat yang tersisa, sama sekali tidak keberatan dititipkan tanggung jawab untuk mengurus Vania. Terlebih lagi Bude Sari sama sekali belum dikarunia momongan.

"Vania harus ketemu Mas Satya, Bude."

Bude Sari menahan lengan Vania, meminta perempuan itu untuk tenang.

"Vania.... Jangan begini, Nduk. Tenang dulu, ingat kandungan kamu ini."

Vania jelas tidak mendengarkan ucapan perempuan yang sudah sangat berjasa dalam hidupnya itu, Vania terus berusaha memberontak, sampai akhirnya tangisnya tidak lagi terbendung. Perempuan itu menangisi pernikahannya dan juga menangisi Satya.

"Lupakan, Nak. Satya sudah berbahagia dengan pilihannya, sekarang giliran kamu."

Vania menggeleng, wajahnya pucat karena belum makan sejak kemarin.

"Vania mau ketemu mas Satya, Bude. Pasti ada yang salah, Mas Satya enggak mungkin secepat ini melupakan aku."

"Vania...."

"Bude, tolong antar Vania bertemu Mas Satya." Vania mengambil tangan keriput Bude Sari yang kurus, "Vania janji ini yang terakhir. Kalau Mas Satya benar-benar enggak mempedulikan aku lagi, Vania janji enggak akan pernah mengharapkan Mas Satya lagi. Bude mau kan, bantu Vania sekali lagi?"

Bude Sari mengelusi rambut Vania yang sehitam arang, mata tuanya menatap Vania dengan sendu sebelum mengangguk.

"Makanlah dulu, besok pagi Bude temani kamu ke rumah keluarga Hartono."

"Terima kasih, Bude. Terima Kasih banyak." Isak Vania yang masih belum bisa menghilangkan sesak di dadanya.

Bude Sari menepati janjinya, perempuan itu dengan sabar dan hati-hati mendampingi Vania menaiki satu per satu angkutan umum menuju rumah keluarga Hartono. Sayangnya, kompleks perumahan elite tersebut tidak dapat dimasuki dengan mudah.

"Maaf, Bu. Tapi kami enggak bisa mengizinkan orang yang belum memiliki janji temu dengan salah satu penghuni di kompleks perumahan ini untuk masuk." Satpam yang berjaga menjelaskan dengan sabar, lelaki muda itu jelas mengenali Vania. "Coba hubungi dulu Pak Satya, atau anggota keluarga Hartono yang lain. Ibu bisa menunggu di pos sembari bertelepon."

"Tolonglah Pak, Bapak tahu saya bukan orang jahat."

Satpam muda itu jelas merasa serba salah, "Saya tahu, Bu Vania. Tapi ini salah satu prosedur keamanan di kompleks perumahan ini, saya bisa dipecat jika mengizinkan Ibu masuk begitu saja."

"Coba kamu hubungi Satya dulu, Van. Siapa tahu dia masih mau mengangkat telepon dari kamu."

Vania menggeleng, Satya tidak pernah mau menjawab panggilannya sejak hari pertama ia diusir dari rumah keluarga Hartono. Satpam yang bertugas jelas menyadari hal tersebut, lelaki itu dengan penuh pengertian menyarankan Vania untuk pulang. Saran yang tentu saja di tolak mentah-mentah oleh Vania.

'Tin..tin'

Satpam yang usianya jauh lebih tua bergegas keluar dari pos, ia mengenal Audi R8 yang baru saja tiba.

"Ada apa ini?" Bianca Raharjo, menaikkan kaca mata hitamnya. Memandang penasaran pada dua orang dengan pakaian biasa di dekat pos satpam.

"Bukan apa-apa, Mbak. Mari pintu portalnya sudah saya buka."

Bianca mengabaikan lelaki tua yang berusaha sangat keras menghalangi pandangannya dari Vania.

"Astaga, Vania. Benarkan, ini kamu?" Bianca membuka pintu mobilnya, kaki jenjangnya yang mulus dan kencang melangkah anggun mendekati Vania yang berusaha memasang raut wajah datar, "Apa yang kamu lakukan di sini?"

Vania mengabaikan Bianca, perempuan itu memilih kembali membujuk satpam muda di dekatnya untuk memberinya izin masuk.

"Kamu ingin menemui Mas Satya?" Bianca mengambil ponsel di tasnya dengan tenang, "Percuma, Vania. Mas Satya masih belum pulang, dia masih mengukur pakaian bersama Mama dan yang lain."

"Me.... Mengukur pakaian?"

Bianca menyeringai, wajah Vania yang benar-benar pucat membuatnya merasa di atas awang. Bianca seolah sedang berkaca, karena seperti itulah raut wajahnya dulu ketika mendengar berita bahwa Satya, lelaki incarannya sejak lama akan menikahi perempuan kampung yang entah di pungutnya dari mana.

"Kenapa kamu sekaget itu?" Bianca kembali menyimpan ponselnya di tas, "Kamu sudah menerima undangannya kan? Mas Satya sendiri yang mengirimkannya melalui pos. Seharusnya undangannya sudah sampai beberapa hari yang lalu."

Vania merasa kepalanya berputar, sangat terkejut dengan informasi yang di dengarnya langsung dari Bianca.

"Aku dan Mas Satya akan menikah, Vania. Aku harap kamu enggak keberatan untuk memberikan ucapan selamat dan doa."

Vania tidak bisa mendengar ucapan Bianca lagi, karena satu detik setelahnya tubuhnya luruh tidak sadarkan diri.

CINTA YANG KADALUARSATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang