Happy Reading...
___
Meremas rok sekolahnya Aruna menegang saat lelaki jangkung itu mencium bibirnya. Kakinya lemas, hanya dengan satu ciuman saja lelaki itu mampu membuat kakinya seperti jeli.
Aruna akhirnya tidak bisa berdiri lagi seolah sadar, lelaki itu yang mash mencumbunya itu langsung mengangkat tubuhnya lalu melingkari kalinya di pinggang lelaki itu.
"Mau kemana?" tanya Aruna melepaskan ciuman mereka sebentar.
"Ke kamar." ucap lelaki itu serak.l
"Tapi, kak-" seolah tahu apa yang akan terjadi, Aruna takut.
"Mau berhenti?" Tidak memaksa, Lelaki itu menatap Aruna menunggu keputusan.
Aruna segera menggeleng segera, ia percaya lelaki ini. Aruna mencintainya.
"Jangan sesali Aruna, setelah ini jangan buat aku pusing dengan tangis kamu nanti." Masih memberi kesempatan, Lelaki itu bertanya.
"Aku percaya sama Kakak." balas Aruna dengan polosnya.
Mereka saling menatap satu sama lain. Seolah mencari sesuatu yang sama-sama tidak ditemukan dari mata mereka.
"Jangan pernah percaya lelaki seperti aku Aruna." Ketiga kalinya Lelaki itu bertanya dan menahan diri.
"Tapi aku percaya sama Kakak." Setelah itu Aruna lebih dulu mencium Lelaki itu. Memberi ciuman buruk membuat Lelaki itu menuntut lebih.
Yah, Gadis ini sendiri yang memberikan hidangan lezat padanya. Ia sudah bertanya maka bukan salahnya jika ia tidak menolak lagi.
Mereka pun masuk ke kamar, menutup pintunya dan menghabiskan sore itu di rumah lelaki yang sangat dicintai Aruna itu.
...
Dan satu bulan pun berlalu setelah kejadian itu. Semuanya terasa baik-baik saja dan berjala lancar sampai sebuah musibah pun datang menghampirinya seperti tsunami yang menghancurkan kehidupannya.
Aruna tertunduk lemas saat melihat tespeck menunjukkan garis dua ditangannya. Ini tidak mungkin kan? Tangan Aruna langsung gemetar, air matanya kemudian merembes keluar dari matanya.
Apa yang harus ia lakukan? Bagaimana ini bisa terjadi?
"Dek!" Aruna tersentak saat tubuhnya terguncang di meja makan. Ia melamun dan tersadar seketika setelah mengingat kejadian tiga puluh menit lalu di kamar mandinya.
"Iyah?"
"Kamu kenapa? Daritadi dipanggil loh sama Mama." Mendengar ucapan Samudera-Kakaknya, Aruna langsung mengalihkan tatapan pada ibunya yang juga menatapnya bahkan ayahnya pun sama.
Mengejap gugup, Aruna menelan ludahnya susah payah. Kejutan pagi tadi mampu mengguncang pikirannya. Bagaimana jika wajah-wajah khawatir mereka digantikan oleh kemarahan saat tahu dirinya hamil?
Aruna tidak sanggup menanggung resiko nya jika rahasianya terbongkar saat ini.
"Eh, kamu malah bengong lagi? Kenapa sih, kamu sakit yah sayang?" Kali ini Jihan-Ibunya sudah menghampiri dan mengelus pipinya khawatir. Bahkan sarapan yang disiapkannya pun tidak dimakan sedikitpun oleh putrinya.
"Kamu sakit yah sayang? Sam, cepet siapin mobil, kita ke rumah sakit sekarang." titah Devan yang sudah hiperbola sendiri ditempatnya.
"Jangan Pah!" Aruna langsung berteriak panik.
Jangan sampai mereka membawanya ke rumah sakit atau kalau tidak kehamilannya akan ketahuan.
"Tapi kenapa? Wajah kamu juga pucat loh?" ucap Papahnya.
"Nggak Pah, aku baik-baik saja cuman kepikiran sama pelajaran saja." elak Aruna.
"Wah beneran yah sekolah itu bukannya bikin anak ku senang malah menderita. Apa harus papah samperin kepala sekolahnya?" ucap Devan yang suda emosi.
"Apaan sih kamu, nggak usah lebay deh. Lagian sekolah kan buat belajar, pasti ya banyak tugas. Aruna cuma butuh istirahat karena terlalu banyak bergadang." Jihan yang selalu mementingkan pendidikan nomor satu akan mentang suaminya kalau menyangkut tentang sekolah. Apalagi suaminya itu pernah menyuruh Aruna home schooling karena tidak mau putrinya sampai didekati cowok genit.
Ada-ada saja, maka itu Jihan tidak setuju. Apalagi putrinya ini sangat berprestasi seperti kakaknya, tentu saja Jihan tidak aka diam saja untuk mendukung bakat putri nya itu.
"Iyah Pah nggak usah khawatir, Aruna nggak sakit." balas Aruna.
"Kalau gitu kamu istirahat aja, nggak usah sekolah hari ini." usul Devan yang akhirnya menyerah pada istrinya.
"Aku harus sekolah Pah, hari ini ujian terkahir." Yah, sebentar lagi Aruna lulus. Tidak terbayang kelulusannya nanti Aruna hadiahi oleh kehamilannya pada orang tuanya.
"Tapi kamu kan lagi sakit sayang?" ucap Devan yang tak tega.
"Nggak Pah, aku baik-baik saja." Aruna pun perlu bertemu lelaki itu. Ia sudah menghubunginya dan sepakat akan bertemu setelah pulang sekolah.
"Yaudah Kakak yang antar kamu yah, tapi kalau kamu kenapa-kenapa langsung hubungi Kakak?"
Aruna mengangguk setuju.
Kedua oang tuannya pun tidak bisa memaksa lagi selain berpesan kalau Aruna sakit langsung pulang saja.
Yah, di rumah ini karena ia anak terakhir selalu dimanja dan terus diperhatikan. Termasuk Ayahnya yang selalu heboh kalau Aruna sakit sedikit saja. Aruna senang berada di tengah keluarga ini tapi ia tidak sanggup bagaimana kebahagiaan keluarga ini runtuh setelah mendengar kabar putri satu-satu mereka melakukan kesalahan besar.
...
Berusaha menyelesaikan masalahnya, Aruna harus mencari jalan keluar setidaknya ia perlu lelaki itu untuk menjadi penghiburnya dikala khawatir menyerangnya saat ini.
Namun angan untuk mendapatkan bahu atas panik dan kesedihannya Aruna malah mendapati kemarahan di sorot mata lelaki itu.
"Kan, aku sudah bilang minum Pil nya! Kenapa kamu nggak denger sih Aruna!" bentak Raka-Lelaki yang berhasil meloloskan air matanya menjadi isakan pedih di pinggir jalan saat lelaki itu menjemputnya sekolah.
"Aku juga nggak tau kak, seiingitku, A-aku sudah meminumnya." Isak Aruna yang masih belum mau berhenti menangis.
Aruna pikir setelah ia menceritakan kehamilannya pada Raka-pria yang sangat dicintanya itu akan menenangkannya. Tapi tidak, wajah yang selalu tersenyum padanya itu, sekarang rahangnya mengetat sempurna. Aruna takut, takut dengan segala macam pikiran negatif yang sedang berjalan di kepalanya saat ini.
Mengerang keras sambil mengusap wajahnya kasar, Raka kesal karena melihat Aruna yang menangis. Menangis tidak akan menyelesaikan masalah, perempuan ini sadar tidak sih!
"Berhentilah menangis Aruna!" Raka menekankan katanya. Ia tidak suka saat orang-orang mulai menatap mereka dengan penasaran.
Raka sadar, ini bukan tempat yang tepat untuk mereka bicara ini.
"Naik ke motor sekarang." titah Raka, memberikan Helm pada Aruna, sementara dirinya langsung menaiki motor dan mengenakkan helmnya sendiri.
"K-kita mau kemana kak?" masih dengan sisa air matanya Aruna bertanya.
"Nggak usah tanya! Naik sekarang!" titah Raka yang wajahnya semakin merah.
Menurut dengan tangan gemetar Aruna memasang helm di kepalanya. Setelah selesai mengenakannya Aruna pun naik di belakang motor Raka. Tangis masih membanjiri pipinya tapi Aruna berusaha keras menenangkan diri dengan menghembuskan nafas beratnya.
Sebelum ini Aruna selalu senang setiap kali di bonceng Raka tapi sekarang, entah mengapa Aruna merasakan tekanan besar dihatinya. Aruna tidak nyaman dan ia takut akan keputusan Raka nantinya.
"Udah?" Meskipun marah, Raka masih bertanya pada Aruna.
"I-iyah." cicitnya sambil memegang jaket denim milik lelaki itu.
Setelah mendengar jawaban, Pemuda itu langsung melajukan kereta duanya dari sana. Membelah jalanan menuju entah hanya Raka saja yang tahu.
_______
Jgn lupa tinggalkan vote-komen agar cerita ini berlanjut🥰
KAMU SEDANG MEMBACA
Hamil Anak Sahabat Kakaku
Ficção Adolescente"Ke Kamar." "Tapi Kak-" "Mau berhenti?" Aruna menggeleng. "Aku percaya sama Kak Raka." "Jangan percaya sama aku Run." Lalu Aruna memilih mencium lelaki itu sebagai bentuk persetujuan. Hamil saat SMA tentu menjadi pukulan tersendiri untuk Aruna. Apal...