BAB 1. Ngenes Banget Hidup Isvara

2.5K 124 2
                                    

Katanya, cewek umur 25 itu udah hampir menyentuh kata expired.

Udah saatnya nikah dan berkeluarga, punya finansial mapan dan banyak uang. Kalau udah lewat usia dua lima, katanya bakal jadi perawan tua selamanya, terus jadi omongan tetangga sana sini.

Isvara-yang kerjaannya adalah freelance-baca: pengangguran, seketika dipandang sebelah mata saat usianya menyentuh dua lima, terhitung hari ini. Isvara seolah-olah tidak punya harapan, seolah-seolah jarum waktu di hidupnya berhenti berputar.

Melihat story teman-temannya di media sosial selalu membuat Isvara makin merasa kalau dirinya menyedihkan. Ada yang sudah pamer anak, tunangan, juga pekerjaan mapan sebagai pegawai kantoran. Sementara itu, Isvara masih terjebak di kamar mungilnya yang hanya berukuran 3x4. Stiker dinding yang sudah dia pasang sejak dua tahun lalu mulai mengelupas satu per satu, jatuh dengan menyedihkan menyentuh lantai yang penuh tumpukan sampah plastik.

Emak dan Bapak berkali-kali menengok ke kamarnya, merasa sepat melihat Isvara yang hanya bergelut dengan bantal dan guling dua puluh empat jam sehari. Keluar kamar hanya untuk makan dan buang air besar. Mandi pun, hanya satu kali sehari, dengan alasan mau hemat energi, katanya.

Oh, tentu saja. Kemalasan Isvara udah dikait-kaitkan sama jin. Isvara bahkan sampai diseret Emak ke Pak Ustadz belakang kompleks yang terkenal dengan praktik rukyah-nya yang topcer. Namun, setelah tiga kali datang, tetap tak ada perubahan dalam hidup Isvara. Emak sampai frustrasi dan bingung untuk mengidentifikasi jenis jin apa yang merasuki Isvara.

"Si Joni tuh, dateng berkali-kali niatnya mau serius ngajakin nikah, tapi kamunya malah ndekem terus di kamar dari pagi sampe pagi lagi. Emangnya kamu nggak punya tujuan hidup?" Emak berdiri di pinggir pintu kamar Isvara yang terbuka. Ada sapu lidi dalam genggaman tangannya, lengkap dengan butiran tanah kuburan yang jatuh mengotori lantai Isvara. "Kamu ini udah Emak sekolahin tinggi-tinggi, tapi malah jadi pengangguran. Liat tuh, anaknya bu Wati. Sekarang kerjanya di bank, jadi pegawai negeri. Si Wita yang suaminya polisi itu juga baru aja lahiran anak kedua."

Bohong kalau Isvara bilang telinganya nggak panas dengar celotehan emak. Isvara bahkan berharap kalau telinganya tuli. Dan, nggak cuma sekali dua kali Isvara berpikir untuk bunuh diri.

Bukannya Isvara tidak mau menikah.

Emangnya siapa juga yang nggak mau kerja dan dapat duit banyak?

Lebih dari siapapun di dunia ini, Isvara menginginkan kehidupan normal seperti teman-temannya. Karir mapan, punya suami dan anak. Membangun rumah tangga sakinah mawaddah dan bahagia selamanya.

Namun, semesta nggak menghendaki Isvara mewujudkan keinginannya.

Isvara ingin hidup bersama mimpi-mimpi yang sudah dia geluti selama belasan tahun ini, tapi, kenapa tak ada seorang pun yang mengerti? Berkali-kali gagal saja sudah membuat Isvara ingin menyerah. Tolong jangan tambahai Isvara dengan beban hidup agar bisa terlihat 'sama' seperti orang lain.

"Harusnya Emak bersyukur." Isvara bangkit dari posisi berbaringnya. Dia menyilangkan kaki, sementara bibirnya mengulas senyum penuh ironi. "Kalau mental anakmu ini nggak kuat, pasti sekarang udah sakit jiwa dan harus dipasung di gudang belakang rumah."

"KAMU!" Emak refleks melempar Isvara dengan sapu lidi bekas kuburan, tepat mengenai kepala Isvara yang sudah lima minggu belum keramas. Butiran tanah itu berguguran di atas kasur Isvara yang berwarna lilac, udah kayak toping donat. "Kalau ngomong itu dijaga, Nduk! Nyebut!"

Berapa kali Isvara harus bilang, kalau hidup menyedihkan kayak gini bukanlah kemauannya? Isvara juga ingin terlahir seperti orang lain yang punya banyak privilege. Yang bisa bekerja dan menghasilkan uang tanpa banyak usaha dan kerja keras. Tapi sayangnya, Isvara hanya anak seorang buruh yang lahir di keluarga menengah ke bawah.

Ketempelan Duda PosesifTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang