5. Kapan Giliranmu Nyusul?

609 70 3
                                    

Isvara melepaskan satu sandalnya dan melangkah lebar-lebar ke arah Joni. Kemarahan di wajah Isvara tidak terbendung. Hidungnya kembang kempis kayak banteng yang mau nyeruduk kain merah. Cowok itu masih sempat menyeruput kopinya sebelum menyambut Isvara dengan senyum lebar. Dia bersikap bak cowok polos yang baru keluar dari gua setelah semedi bertahun-tahun.

Joni adalah definisi cowok nggak tahu diri yang sesungguhnya.

"Isvara... kamu baru pulang? Aku udah nunggu la—"

Suara Joni teredam oleh geplakan sandal Isvara. Keras dan menggelegar kayak petir di siang bolong.

Isvara melakukannya berkali-kali.

Di bahu, di wajah, di lengan, pinggang, hingga paha. Semua bagian tubuh Joni kena geplakan tanpa terkecuali. Cowok itu enggak berani mengelak dan hanya berusaha melindungi dirinya dengan sia-sia.

Haaa. Yakin sih.

Bajingan ini pasti cuma akting karena lagi di rumah Isvara. Coba kalau cuma berdua. Pasti sekarang Isvara udah didorong ke tanah, atau diseret ke semak-semak dan dipukuli dengan brutal. Dengan tabiat Joni yang seperti ini, Isvara juga nggak akan kaget kalau Joni tiba-tiba masuk ke kamar Isvara di malam hari kayak maling celana dalam.

Hanya dengan membayangkannya saja sudah bikin Isvara merinding sebadan-badan. Ngeri banget asli.

"Vara, berhenti." Bapak menarik pundak Isvara agar segera menjauhi Joni. "Diliatin sama tetangga, malu! Kamu kenapa tiba-tiba mukulin Joni?"

Napas Isvara naik turun. Emosinya masih belum mereda. Meski begitu, Isvara menyudahi pukulannya dan memakai sandalnya kembali.

"Ingat ya, Joni! Ini peringatan terakhir buat lo." Isvara menunjuk-nunjuk hidung Joni. Kedua matanya berkobar-kobar kayak obor olimpiade. "Kalau lo masih berani dateng ke rumah gue lagi, gue beneran bakal laporin lo ke polisi atas tuduhan pelecehan seksual!"

Bapak syok mendengar kalimat Isvara. Sementara Joni hanya memejamkan mata.

"Vara, aku---" Joni kehilangan kata-kata. "Abang beneran serius mau nikahin kamu. Yang tadi itu cuma salah paham. Kalau kamu mengizinkan, besok Abang bakal bawa orangtua Abang buat ngelamar kamu dengan benar. Kamu bilang aja mau mahar kayak gimana. Mobil? Rumah? Perhiasan? Tanah? Aku bakal kasih semuanya!"

Sial. Emangnya Isvara cewek gila harta kayak di sinetron-sinetron? Yang rela nukar apapun demi duit segaban?

Meski Isvara cuma pengangguran tanpa tabungan, Isvara tetap punya harga diri!

Umur Isvara memang sudah seperempat abad, tapi bukan berarti dia seputus asa itu ingin menikah sampai harus mengorbankan diri. Jadi istri si Joni berarti harus siap untuk menjalani hidup layaknya sinetron hidayah.

Isvara masih ingin waras!

"Berapa kali gue harus bilang kalau gue nggak mau nikah sama lo?" Isvara memasang sorot tajam. "Dengerin gue baik-baik, ya, Joni. Ini kesempatan terakhir lo bisa menghirup napas dengan bebas. Karena kalau sampai lo datang besok pagi, gue beneran bakal laporin lo ke polisi!"

Joni bergeming.

Isvara menatap bapaknya. Tajam dan mengintimidasi. "Bapak juga, jangan diem aja kalau Bang Joni dateng. Langsung bawain linggis aja. Emangnya Bapak mau lihat putri kesayangan Bapak dilecehin lagi sama orang ini?"

Ada kemarahan sekaligus rasa sesal di mata tua Bapak, tapi beliau jelas tidak bisa berbuat apa-apa. Bapak itu memang lemah dan nggak punya pendirian. Dia juga nggak bisa tegas dan selalu melihat jauh ke depan. Maksudnya, Bapak selalu memikirkan hal-hal yang nggak perlu. Seperti omongan tetangga atau hubungan dengan keluarga Joni yang akan memburuk.

Ketempelan Duda PosesifTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang