Bab 3 | Pekan Budaya

79 9 0
                                    

Setelah menunggu matahari benar-benar terbit dari ufuk timur Maura memutuskan kembali ke kamarnya. Dia tidak mau membuat Bu Dian khawatir sampai kalang kabut karena harus mencari keberadaannya.

Seperti dugaan perempuan itu, sesaat setelah berganti pakaian dan membersihkan diri, sekertaris kesayangannya tersebut datang dan mengetuk pintu kamarnya.

Rupanya Bu Dian bermaksud mengajaknya sarapan pagi bersama. Akhirnya setelah mengunci pintu kembali, Maura beserta sekertarisnya berjalan menuju resto. Setelah sampai di sana mereka langsung mengambil makanannya masing-masing.

Meskipun hubungan Maura dan Bu Dian adalah sebatas atasan dan sekertaris, sekalipun Maura tak pernah menyuruh wanita itu untuk melakukan suatu hal yang bukan bagian dari pekerjaannya. Contoh kecilnya seperilti mengambilkan sarapan pagi untuknya. Lagipula saat ini mereka tidak sedang terikat jam kerja. Jadi, perempuan itu membebaskan Bu Dian melakukan hal apapun yang ia mau.

Selesai mengambil makanan, Bu Dian menyarankan agar mereka duduk di meja paling ujung yang kebetulan dekat dengan jalan raya. Ya, resto ini memang berhadapan langsung dengan jalan raya yang letaknya di depan hotel. Keduanya hanya dibatasi oleh trotoar serta pagar kayu yang tingginya sebatas panjang kaki orang dewasa.

Selagi menikmati menu sarapan paginya, sepasang mata almond milik Maura tak sengaja menangkap keramaian jalan raya yang ada di depan sana. Rupanya saat ini banyak orang yang berlalu lalang memadati jalan seraya memakai pakaian adat dari berbagai daerah. Melihat hal tersebut, Bu Dian mencoba menjelaskan kalau ada acara semacam pekan budaya yang kebetulan digelar di sepanjang jalan raya ini.

"Pekan budaya?" tanya Maura seraya menaikan sebelah alisnya ke atas.

Bu Dian bergumam sekilas seraya menganggukan kepalanya.

"Kalau tidak salah, siang ini ada pameran lukisan. Sedangkan nanti malam baru pertunjukan istimewa yang diadakan di bibir pantai."

Maura menganggukan kepalanya beberapa kali sebagai tanda bahwa ia mengerti dengan penjelasan sekretarisnya itu.

"Nona mau berkeliling?"

Maura tampak ragu untuk menjawab tawaran dari sekertarisnya itu. Sebab tujuannya datang ke kota ini selain mengurusi acara peragaan busana kemarin, juga ia harus mempersiapkan acara pembukaan butiknya.

"Kita masih punya waktu sekitar tiga hari sebelum kembali ke Jakarta, Nona," terang wanita itu kembali, seperti ia tahu dengan isi kepala atasannya.

Bukannya Maura tidak suka jalan-jalan dan menikmati waktu bersantainya, tapi karena selama ini dia selalu sibuk dengan perkerjaannya. Sehingga perempuan itu seakan lupa cara untuk menikmati masa libur seperti sekarang ini.

Akhirnya setelah cukup lama menimang-nimang jawaban. Maura memutuskan untuk mengambil tawaran tersebut. Tak butuh waktu lama, mereka pun sudah berjalan menyusuri jalan trotoar tempat di mana beberapa lukisan karya pelukis jalanan dari berbagai penjuru nusantara berkumpul.

Sedari tadi Maura tak henti-hentinya melihat jajaran lukisan itu dengan tatapan penuh rasa kagum. Meskipun melukis dan mendesain baju adalah sesuatu yang berbeda. Namun, Maura bisa menilai kalau tangan para pelukis jalanan ini memang sangatlah terampil dan berbakat.

"Nona senang?" tanya Bu Dian tiba-tiba membuka obrolan di antara mereka. Bukan tanpa alasan ia tiba-tiba bertanya seperti itu. Sebab baru pertama kali atasannya tersenyum bahagia selama mereka tiba di pulau ini. Sekaligus senyuman pertama yang Maura tunjukkan setelah beberapa bulan lalu menghilang entah ke mana.

Tanpa ragu, Maura pun menganggukkan kepalanya. Sedetik kemudian perempuan itu tiba-tiba berhenti di depan sebuah lukisan yang menampakkan pemandangan pantai ketika matahari terbit. Bukan objek itu yang menjadi fokus utamanya. Melainkan punggung kecil nan kurus dari seorang perempuan yang menurutnya terlihat sangat tidak asing.

"Cantik ya," ujar seseorang yang datangnya entah dari mana. Namun, yang jelas ia kini sudah berdiri di samping perempuan itu.

Sontak saja Maura terlonjak kaget. Perempuan itu lantas menoleh ke samping kanannya. Rupanya seorang laki-laki dengan perawakan sedang tengah berdiri seraya ikut memandangi lukisan tersebut dengan tatapan yang sama. Sejenak Maura mengerutkan alisnya. Ia merasa pernah bertemu dengan laki-laki itu. Namun, entah di mana?

Baru saja Maura ingin menyerahkan dan buru-buru pergi karena tak mau berurusan dengannya. Perempuan itu malah teringat akan sesuatu.

"Kamu?" gumam Maura. Sekarang dia sudah ingat semuanya kalau laki-laki ini adalah orang yang duduk di sampingnya kemarin ketika di pesawat.

"Hm?" gumam laki-laki itu masih dengan senyuman yang sama.

"Ah, maaf. Aku hanya ingin mengembalikan ini."

Laki-laki itu semakin bingung dengan kalimat yang Maura ucapkan. Sedangkan Maura sendiri sibuk merogoh tasnya. Setelah dirasa ia akhirnya menemukan benda yang ia cari, segera perempuan itu menyerahkan sketchbook pada laki-laki asing yang ada di hadapannya.

"Aku rasa ini punyamu. Maaf, atas sikapku yang kurang ajar waktu di pesawat kemarin."

Lelaki itu menatap sketchbook yang sudah kembali ke tangannya. Ia baru ingat kalau dirinya kemarin sempat kehilangan buku ini. Ternyata benda tersebut ada pada Maura. Sungguh sebuah kebetulan yang sangat pas.

Di sisi lain Maura terlihat sedang menatap laki-laki itu dengan ekspresi aneh. Bagaimana tidak, dia merasa heran karena laki-laki itu tiba-tiba tersenyum miring padanya.

"Kalau begitu aku permisi dulu," pamit Maura terkesan terburu-buru. Dalam benaknya dia harus cepat-cepat pergi karena entah mengapa perempuan itu memiliki firasat buruk.

"Tunggu!" cegat laki-laki itu secepat mungkin.

Maura kembali berbalik seraya menatap tangannya yang saat ini ditahan oleh laki-laki aneh itu.

"Sebagai rasa terimakasihku, maukah kau makan siang bersamaku?"

Maura menatap lurus sepasang mata tajam itu. Seakan ia tengah mencari-cari maksud terselubung laki-laki ini. Namun sayang, hal tersebut percuma saja. Sebab Maura sama sekali tidak menemukan kebohongan apapun di sana. Laki-laki itu benar-benar tulus ingin berterimakasih kepadanya.

"Sebentar," pinta perempuan itu. Sedetik kemudian Maura beralih pada sekertarisnya yang kebetulan tengah berdiri tak jauh dari mereka.

"Bu Dian," panggil Maura.

"Iya, Nona."

Dengan sigap Bu Dian langsung berjalan mendekati atasannya.

"Bisa tinggalkan kami sebentar!"

Bu Dian tampak ragu-ragu ketika mendengar perintah dari atasannya itu. Sebab bagaimanapun dia tidak bisa membiarkan Maura pergi sendirian dengan orang asing di tempat asing seperti ini.

"Aku janji akan kembali sebelum petang nanti," terang Maura berusaha meyakinkan sekertarisnya kalau dia akan baik-baik saja. Setelah mendengar penjelasan atasannya tersebut, Bu Dian akhirnya sedikit merasa tenang. Dia pun memutuskan pamit undur diri.

"Baiklah, Nona. Kalau ada sesuatu yang terjadi, Nona bisa hubungi saya."

Sebelumnya wanita itu pergi, ia sempat memberikan tatapan mengintimidasi kepada laki-laki asing yang baru dikenal atasannya. Namun, sebaliknya yang ditatap malah tidak terpengaruh sama sekali.

=TBC=

I Slept with My Office Boy?! | Wonpil Day6Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang