Bab 4 | Lunch

59 11 0
                                    

Setelah kepergian Bu Dian, laki-laki asing yang baru dikenal Maura itu lantas mengajaknya ke salah satu restoran yang ada di dekat bibir pantai. Dia bahkan menjelaskan kalau restoran ini sangat terkenal di kalangan para turis asing. Terbukti ketika mereka baru sampai di pintu masuk restoran tersebut, keduanya langsung disambut pemandangan beberapa turis dari berbagai manca negara yang sedang duduk sambil menikmati makan siangnya.

Setelah memilih tempat duduk dan memesan makanan, Maura dan laki-laki itu hanya duduk diam sembari menikmati pemandangan Pantai Senggigi. Padahal dinihari tadi netra perempuan itu sudah lebih dulu menikmati keindahan pantai ini. Namun, entah mengapa hal tersebut tak pernah membuatnya bosan.

"Lombok memang indah ya," celetuk seseorang yang saat ini duduk tepat berada di sampingnya.

Seketika Maura langsung tersadar dari lamunan panjangnya.

"Lebih indah bukan dari Pulau Dewata?"

Maura tidak bisa berbohong kalau kalau pulau ini memang amat sangat indah. Namun, ia tidak akan pernah bisa membandingkan keindahan dua pulau yang lelaki itu sebutkan. Sebab keduanya memiliki ciri khas keindahan tersendiri. Jadi, dia hanya mengedikan bahu seraya berujar terimakasih pada pelayan restoran yang kebetulan baru saja mengantarkan pesanan mereka.

"Kamu sudah berkeliling pulau ini?" tanya laki-laki itu disela-sela acara makannya.

Maura menggelengkan kepalanya sebagai jawaban. Perempuan itu berpikir kalau dia datang ke sini untuk urusan pekerjaan, bukan menghabiskan waktunya untuk berlibur ataupun bersenang-senang. Jadi, Maura sama sekali tidak ada pandangan mengenai tempat wisata yang hendak ia kunjungi.

Meskipun tidak terlalu sering, perempuan itu pasti akan kembali mengunjungi pulau ini untuk sekedar mengadakan peragaan busana seperti kemarin. Bahkan mungkin setelah ini dia akan sering-sering datang karena Maura berencana membuka butiknya di kota ini.

"Ah, rugi sekali kalau begitu."

Maura menaikan sebelah alisnya ke atas saat laki-laki itu mengeluhkan sesuatu.

"Kenapa harus rugi? Aku bisa datang ke sini kapan saja."

"Iya, kamu benar. Tapi sesekali healing apakah salah?"

Maura sontak membungkam mulutnya. Perkataan lelaki itu memang ada benarnya. Jadi, dia tidak bisa mengelak lagi.

"Mau berkeliling, nggak? Aku bisa jadi guide yang seru," ucap laki-laki itu menawarkan diri dengan sukarela. Entah mengapa Maura merasa sedikit tertarik dengan ajakannya tersebut. Lagipula hari ini dia merasa sedikit bosan, karena semua urusan pekerjaannya sudah selesai.

"Ini tidak dipungut biaya, 'kan?"

Laki-laki itu terkekeh mendengar pertanyaan Maura yang terkesan polos itu.

"Aku pikir orang kaya sepertimu tidak pernah perhitungan soal mengeluarkan uang untuk membayar sewa seorang guide."

Maura menatap laki-laki itu dengan ekspresi tidak suka. Sebab jujur saja dia merasa sedikit tersinggung dengan sindiran halusnya.

"Emang kamu tahu pekerjaanku apa?"

"Aku memang tidak tahu, tapi setidaknya tas serta baju yang kau kenakan sekarang cukup menjawab semuanya," balas laki-laki itu seraya menunjuk tas dan pakaian yang ia kenakan dengan menggunakan dagu.

Maura lantas mendengkus sebal. Ia lupa kalau tas dan pakaian branded miliknya sudah seperti harta berjalan.

"Baiklah kalau kamu memaksa!" seru Maura. Sebenarnya dia sedang menyembunyikan rasa malunya dengan memasang wajah super cueknya. Sedangkan di sisi lain, laki-laki asing itu tampak terkikik geli.

"Ya sudah, Tuan Putri. Kita berangkat sekarang?" tanya laki-laki itu seraya beranjak dari tempat duduk. Sebelah tangannya ia ulurkan pada perempuan itu.

Namun baru saja Maura ingin menyambut uluran tangannya, tiba-tiba sebuah panggilan masuk datangnya dari ponsel milik perempuan itu. Setelah memeriksanya kembali, ternyata Bu Dian yang menelpon.

Sekarang perasaan Maura jadi tidak enak. Sepertinya ada sesuatu yang terjadi di butiknya saat ini. Sebab dia tahu kalau Bu Dian bukanlah tipikal orang yang protektif. Dia tidak akan menghubunginya untuk sekedar mengetahui keberadaannya di mana karena itu adalah bagian dari urusan pribadi.

"Tunggu sebentar!" pamit Maura sedikit menjauh.

Laki-laki itu menganggukkan kepalanya dan mempersilahkan Maura mengangkat telepon. Satu menit kemudian, perempuan itu kembali dengan raut wajah sedikit panik. Hingga membuat laki-laki asing tersebut bertanya-tanya.

"Ada apa?"

"Sepertinya ada masalah yang terjadi di tempat kerjaku."

"Kalau begitu kau selesaikan saja dulu."

Maura menatap laki-laki itu dengan ekspresi tak enak. Padahal dia sudah janji akan berkeliling pulau ini bersama-sama.

"Tidak apa, kita bisa berkeliling besok," ucap laki-laki itu berusaha menghibur.

Akhirnya mau tak mau, Maura harus menyelesaikan urusannya terlebih dahulu dan meninggalkan laki-laki itu sendirian di tempat ini.

"Berikan nomor ponselmu!" pinta Maura pada laki-laki itu.

Sejenak laki-laki tersebut menatapnya dengan tatapan heran. Namun, ia akhirnya mengambil alih benda persegi tersebut lalu mengetikan beberapa digit nomor ponsel di sana.

"Ini," ujar laki-laki itu seraya mengembalikan ponsel tersebut ke tangan pemiliknya.

Tak berselang lama kemudian, terdengar getaran ponsel lain. Ternyata ponsel tersebut milik laki-laki itu.

"Jangan lupa disimpan ya nomorku!" ujar Maura sesaat sebelum pergi meninggalkan laki-laki itu sendirian.

Di sisi lain laki-laki asing itu tampak tersenyum bahagia. Entah apa yang membuatnya sebahagia itu. Mungkin sepertinya dia bahagia karena tidak hanya berhasil mengajak perempuan cantik makan siang bersama, tetapi juga bisa mendapatkan nomor ponselnya secara cuma-cuma.

=TBC=

I Slept with My Office Boy?! | Wonpil Day6Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang