~~~
"Bumi kembali disapa oleh langit dengan tangisan begitu lebat, selebat rindu yang didekap erat bersama bayang-bayang kasih sayang. Lalu, melekat pada hati secara cepat dan hebat."
_Loneliness and Yearning_****
Eunha terbangun di tengah malam dengan keringat dingin membasahi tubuh. Ia mengedarkan pandangan ke seluruh sudut kamar. Ini menakutkan sekali, tangannya gemetar disertai isakan kecil. Kaki terasa begitu kaku sehingga tak mampu untuk berdiri.
Jam dinding menunjukkan pukul dua pagi. Suara anjing menggonggong membuat Eunha semakin takut. Ia baru sadar kalau sekarang berada di kamar orang tuanya. Sudah tiga bulan ia tidur di sini.
Namun, kenapa malam ini aura kamar begitu mencekam. Eunha merinding dan ketakutan, apalagi ia tinggal sendirian. Jianha berada di rumah sakit menemani kakek.
Eunha memberanikan diri beranjak dari tempat tidur untuk menyalakan lampu. Suara gonggongan anjing digantikan oleh derasnya hujan. Setelah itu, melangkah menuju kamar mandi. Lalu, mencuci muka sampai merasa tenang.
"Apa yang sebenarnya terjadi?" Eunha memegang dadanya yang terasa begitu nyeri.
Eunha ingin menelepon Jianha, tetapi tiba-tiba petir dan kilat membuatnya terlonjak. Ia memutuskan untuk tidur di kamarnya. Namun, tetap saja rasa khawatir dan kegelisahan tak jelas itu masih menghantui.
"Ma, Eunha bingung sama diri sendiri." Eunha menangis memeluk boneka pemberian mamanya. "Ma, pa, Eunha kangen."
Rumah yang cukup besar ini selalu sepi. Jianha dan Eunha bergantian menjaga Hasan di rumah sakit. Menyakitkan sekali melihat sang kakek terbaring di rumah sakit dengan kondisi koma. Bukan hanya penyakit jantung, tetapi sudah komplikasi dengan penyakit lain seperti ginjal, tumor otak jinak, dan asam lambung.
Kondisi keuangan tak cukup untuk membiayai perawatan Hasan. Terpaksa Jianha ikut balap liar. Ini adalah satu-satunya cara yang bisa ia lakukan sekarang.
Jianha menitipkan pesan kepada perawat untuk selalu menjaga kakeknya. Ia akan pulang sebentar mengambil uang. Padahal, Jianha ingin ikut balapan pukul sepuluh malam.
Jianha berdoa semoga ia menang dan pulang membawa uang tiga puluh juta. Banyak orang menyemangati membuat ia semakin semangat.
"Dek, maafin abang, ya." Jianha melajukan motor dengan kecepatan tinggi. Ia berharap, Eunha tidak mengetahuinya. "Dek, ini demi kakek dan hidup kita."
Jianha hampir menabrak tiang pembatas jalan karena ia tidak melihatnya, untung saja masih bisa mengelak. Dengan senyum bangga Jianha menarik gas dan berada di posisi pertama.
"Dek, abang menang," ucap Jianha dalam hati dengan senyum merekah.
Laki-laki itu memasukkan uang hasil balapnya ke dalam tas yang tadi ia titipkan kepada salah satu penonton di sana. Jianha pulang dengan perasaan bahagia.
Sekarang menunjukkan pukul dua belas malam. Jianha mampir sebentar ke warung yang masih buka untuk memesan makan. Ia kelaparan karena perutnya belum terisi sejak siang tadi. Merasa sudah terlalu lama meninggalkan Hasan. Ia pun buru-buru kembali ke rumah sakit.
Jianha mulai membelah jalan kota di tengah malam. Namun, baru lima belas menit dari warung makan itu, hujan turun membasahi bumi. Jianha menepi ke depan ruko yang sudah tutup tiga jam lalu.
Tas berisi uang itu langsung Jianha amankan ke dalam jaketnya. Ia dekap bersama hujan disertai angin malam. Sudah setengah jam, tetapi tangisan langit tak kunjung usai. Jianha teringat dengan Eunha, gadis kecil yang selalu meminta ditemani karena takut ditinggal sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Loneliness and Yearning
Romance"Papa pernah bilang sama Eunha agar selalu semangat mengejar mimpi menjadi penulis novel, biar karya-karya Eunha bisa melegenda." "Mama selalu bawel kalau Eunha belum makan, terus mama bawain makanan ke kamar. Mama cerita tentang indahnya langit ma...