Masih saling mendekap. Eunha mendongak menatap wajah tampan laki-laki yang sudah dua tahun menjadi kekasihnya. Namun, kini ia benar-benar telah memutuskan untuk berpisah.
"Ya udah, kita putus aja," ulang Irland.
Eunha tersenyum lantas melerai pelukan hangat itu. "Terima kasih."
"Tapi, nggak semudah itu, Eunha Sayang." Irland masih bersikukuh kalau mereka tidak akan pernah putus. "Lo masih milik gue dan gue nggak bakal biarin lo pergi begitu saja."
Eunha cukup muak dengan Irland. "Lo sebut gue milik lo? Sedangkan, lo aja milik semua perempuan. Itu nggak adil, Irland!"
"Perempuan mana, Eunha? Gue cuma milik lo. Cinta gue cuma buat lo. Di hati gue cuma ada lo. Mereka itu teman-teman gue di lokasi syuting. Kenapa lo nggak pernah percaya?" Irland sudah berkata dengan jujur. Namun, Eunha masih saja tetap bersikeras agar mereka putus.
"Gue nggak mau tahu. Pokoknya malam ini kita putus," seru Eunha menatap nyalang Irland. "Pergi lo dari sini! Jangan pernah injakin kaki lo di rumah gue lagi, Irland Manggala!"
"Eunha?" lirih Irland.
Eunha memalingkan muka lantas melangkah pergi ke kamar. Meninggalkan Irland dengan perasaan yang campur aduk. Laki-laki itu tidak mengerti dengan sikap kekasihnya. Mengapa tiba-tiba minta putus? Padahal beberapa bulan lalu, mereka masih baik-baik saja.
"Eunha, apa salah gue sama lo? Kenapa lo semudah itu minta putus sama gue? Padahal lo sendiri yang bilang. Kalau cinta lo nggak pernah berubah sedikit pun. Tapi, nyatanya apa? Lo malah ninggalin gue." Irland sedikit berteriak. "Apa dua tahun yang kita jalani. Nggak berarti apa-apa buat lo?"
Eunha masih mendengar suara Irland. Ia tak berniat membalasnya.
"Oke, baik. Malam ini kita putus. Gue pastikan lo menyesal sudah minta putus, Eunha." Irland sebetulnya masih mencintai Eunha.
Setelah mengatakan itu, Irland pergi. Terdengar suara motornya yang perlahan-lahan menghilang dari indera pendengaran.
"Gue nggak mau impian lo hancur gara-gara gue, Irland. Jadi sebelum itu terjadi, sebaiknya kita putus," ucap Eunha bermonolog. "Gue cewek serba kekurangan. Nggak sepantasnya bersanding dengan lo yang punya banyak kelebihan."
****
Selain menyiapkan makanan untuk sarapan. Eunha juga membuatkan bekal yang akan diberikan kepada Jianha. Meskipun, dia masih ingin menghindar. Namun, sampai kapan memperlakukan kakaknya seperti itu? Bagaimanapun juga, mereka harus saling terbuka.
Kalau saja pagi ini perempuan berambut sepunggung itu tidak telat. Mungkin sudah memasak lebih banyak. Akan tetapi, di meja makan hanya nasi goreng dan telur mata sapi. Walaupun demikian, Eunha membuatnya dengan penuh kasih sayang.
"Non, di depan sudah ada den Irland," kata Bi Juai memberitahu.
"Suruh pergi aja, Bi," balas Eunha sambil menata nasi goreng dalam kotak makanan.
Bi Juai pun menurut, ia pun menuju ke depan menemui Irland. Laki-laki itu masih berdiri di teras rumah. Berpenampilan seperti anak SMA pada umumnya. Memakai seragam sekolah sama dengan Eunha. Namun, sedikit kurang rapi karena terburu-buru. Takut jikalau sang pujaan hati sudah pergi.
"Maaf, Den Irland. Kata non Eunha, Aden pergi saja," ujar Bi Juai memberitahu dengan sedikit gugup. Takut Irland merasa tersinggung.
"Bilang sama Eunha. Saya nggak mau pergi, Bi," balas Irland.
"Ngapain, sih, di sini?" timpal Eunha yang baru saja keluar. Sudah siap untuk pergi ke sekolah. Tinggal tunggu ojek langganannya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Loneliness and Yearning
Romance"Papa pernah bilang sama Eunha agar selalu semangat mengejar mimpi menjadi penulis novel, biar karya-karya Eunha bisa melegenda." "Mama selalu bawel kalau Eunha belum makan, terus mama bawain makanan ke kamar. Mama cerita tentang indahnya langit ma...