Selamat membaca!
~~~"Jiwa yang bertarung dengan luka kembali ciptakan tawa. Senyuman bersembunyi dibalik air mata, kini melengkung indah bagai sabit di nabastala."
Loneliness and Yearning
by Umi Rahman****
Dalam gelap malam seorang gadis tak henti-henti menengadahkan tangan di atas sajadah. Memohon kesembuhan untuk sang kakek dan kakak. Berharap pemilik alam semesta mengabulkan doa-doanya.
"Ya Allah, begitu sakit luka yang hamba terima sampai lupa caranya untuk bahagia," lirih Eunha.
Setelah selesai salat isya, Eunha memutuskan kembali ke rumah sakit membawa beberapa pakaian ganti untuk Jianha. Ketika keluar dari kamar, ia menghela napas saat bayang-bayang kerinduan menyapa. Rumah yang biasa ramai digantikan sunyi senyap penuh lara.
Eunha menahan diri agar tidak menangis. Namun, jiwa yang begitu rapuh membuat tubuh seketika lemas. Kepada siapa ia harus bersandar? Kenangan indah itu selalu terpatri dalam hati. Berdiam diri seolah-olah tak mau pergi. Setiap sudut rumah seperti masih dipenuhi oleh canda tawa mereka, tetapi kenyataannya terasa hampa dan menyesakkan.
"Capek, gue benar-benar capek sama semuanya." Eunha berpegangan pada sofa. "Kenapa gue harus kehilangan mama, papa? Kenapa, kenapa, Tuhan?"
Eunha menuntun diri untuk lepas dari belenggu kesedihan. Ia ingin tubuh kecilnya hanya terikat oleh tali bahagia, cinta, dan kasih sayang. Namun, dekapan luka begitu erat sampai tangan tak mampu melerai.
"Jangan lemah," ucap Eunha bermonolog. "Hidup akan terus berjalan, jangan kalah sama keadaan. Lo harus kuat demi kakek, bang Jian, dan diri lo sendiri, Beatarisa Eunha."
Saat telah yakin diri baik-baik saja. Eunha memesan taksi dari sebuah aplikasi di ponselnya. Setelah sampai rumah sakit, tubuh berpura-pura kuat itu berjalan seperti tidak memiliki beban. Ia menyapa beberapa perawat, serta dokter yang menangani kakek dan kakaknya.
"Eunha," panggil dokter Feby.
Eunha yang baru saja menapakkan kaki di rumah sakit langsung terkejut. "Iya, ada apa, Dok?"
"Bisa bicara sebentar di ruangan saya?" Dokter Feby memastikan terlebih dulu. Takutnya Eunha ada keperluan lain. "Ini soal kesehatan kakek Hasan."
"Iya, boleh Dokter," balas Eunha.
Eunha mengeratkan pegangannya pada tas yang berisikan pakaian Jianha. Ia berjalan mengikuti dari belakang. Berharap ada kabar gembira. Sesampainya di ruangan tersebut, dokter Feby menjelaskan tentang perkembangan kondisi Hasan mulai membaik.
"Kemarin, saya melihat jari-jari kakek Hasan mulai bergerak," ujar dokter Feby.
Sudut bibir Eunha melengkung indah bagai sabit di nabastala. Ia benar-benar bahagia, masih ada harapan Hasan untuk sembuh. Doa-doa yang dilangitkan mulai terkabulkan satu persatu.
"Alhamdulillah, saya senang banget, Dok," kata Eunha dengan mata berbinar-binar. "Kakek saya ada harapan untuk sembuh, 'kan, Dok?"
Dokter Feby mengangguk sambil tersenyum. "Tapi, saya nggak bisa menjamin kesadarannya bertahan lama."
"Maksud Dokter?" Mata yang tadi berbinar-binar berubah sendu.
"Tumor otak yang tadinya jinak berubah menjadi ganas," ungkap dokter Feby. "Mungkin kakek Hasan bisa bertahan hidup kurang lebih dua bulan lagi. Tapi, hidup dan mati seseorang itu di tangan Allah. Jadi yang kita lakukan sekarang hanyalah berdoa untuk kesembuhan kakek Hasan."
![](https://img.wattpad.com/cover/360327845-288-k903221.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Loneliness and Yearning
Romance"Papa pernah bilang sama Eunha agar selalu semangat mengejar mimpi menjadi penulis novel, biar karya-karya Eunha bisa melegenda." "Mama selalu bawel kalau Eunha belum makan, terus mama bawain makanan ke kamar. Mama cerita tentang indahnya langit ma...