10 : Menyembunyikan Luka

20 6 0
                                    


"Semua makhluk yang bernyawa pasti akan merasakan mati. Sedetik, semenit, sejam, sehari, seminggu, sebulan, dan beberapa tahun kemudian. Hanya menunggu waktu saja. "

Loneliness and Yearning

By Umi Rahman

****


Jianha menghela napas, tidak seharusnya ia melakukan sesuatu yang membuatnya harus berakhir di rumah sakit lagi. Kaki yang sudah sembuh kembali diberi penyangga. Salah sendiri, ikut balap liar untuk menenangkan pikiran. Padahal ada banyak cara lain. Tidak sampai menyakiti diri.

Eunha tak mengerti dengan pemikiran kakaknya. Baru sebulan Hasan meninggal, sudah membuat ulah. Kalau sudah seperti ini baru menyesal. Sebelum melakukan sesuatu, seharusnya berpikir panjang terlebih dahulu. Ada manfaatnya atau tidak. Apalagi balap liar sangat membahayakan. Kalau tiba-tiba polisi datang bagaimana?

Jianha paham kenapa Eunha sangat marah kepadanya. Ia memang salah, seharusnya menurut ketika diberi nasihat. Bukan malah masuk ke telinga kanan, keluar ke telinga kiri.

"Terserah Abang mau ngapain! Eunha capek ngasih tahunya," ujar Eunha memunggungi kakaknya. "Apa Abang nggak pernah mikirin perasaan Eunha? Sudah Eunha bilangin. Nggak usah balap liar lagi. Nanti Abang kenapa-kenapa. Tapi, Abang nggak pernah nurut."

"Maafin Abang, Dek," ucap Jianha merasa bersalah.

"Terus yang bayar biaya rumah sakit siapa, Bang? Motor teman Abang yang rusak itu harus diganti! Dapat darimana uangnya? Tabungan Eunha nggak banyak lagi." Eunha menyeka air matanya.

Jianha hanya diam mendengar semua unek-unek Eunha. Seharusnya ia tidak balap liar dan menambah luka kepada hati gadis itu.

"Kalau tahu nggak punya uang. Nggak usah banyak gaya. Masa kaya kita udah habis. Yang kita punya sekarang cuma diri sendiri," kata Eunha membuat Jianha semakin membisu.

Eunha beranjak dari kamar inap Jianha. Ia tidak sanggup lagi melihat sang kakak. Perasaan kecewa dan sedih sedang menyelimuti dirinya.

"Mau ke mana kamu, Dek?" tanya Jianha ketika Eunha hendak membuka pintu.

Eunha berbalik menatap Jianha dengan perasaan kecewa. "Mau jual rumah."

"Nggak usah macem-macem kamu!" marah Jianha ingin beranjak dari tempat tidur. Namun, tidak bisa karena kakinya sakit. Ia pun meringis pelan.

"Terus dari mana kita dapat uang buat ganti motor teman Abang? Makanya, Bang. Sudah Eunha bilang jangan balap liar lagi. Apalagi pinjam motor orang," cecar Eunha.

"Maaf, Abang salah," kata Jianha.

"Nggak perlu minta maaf sama Eunha. Minta maaf sama diri sendiri karena sudah mengingkari janji." Setelah mengatakan itu, Eunha pergi dan tidak pernah lagi menjenguk Jianha di rumah sakit selama dua hari.


****

Setelah tiga hari dirawat, Jianha sudah bisa dipulangkan karena biaya rumah sakit telah lunas. Tentu saja cowok itu menyangka Eunha sudah menjual rumah mereka. Saking kecewanya Eunha, sampai-sampai tidak menjemput Jianha.

Terpaksa ia mencari taksi untuk pulang. Namun, ke mana? Apakah rumah mereka sudah benar-benar dijual? Baru kali ini Eunha semarah itu kepadanya.

Loneliness and Yearning Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang