1. Satu Dekade

269 20 22
                                    

Dia menunggumu, aku menunggunya, sampai satu dekade lamanya karena cinta.

________

Saat nisan tertancap di atas makam, anak itu merasakannya. Sakit yang ia rasa mungkin tidak ada ujungnya. Sosok ayahnya kemudian terlintas di benak anak kecil yang kehilangan itu, ketika ia masih hidup dia adalah sosok ayah yang baik. Sering membelikan anak satu-satunya mainan sehabis gajian, sering membelikan jajanan mahal di depan kasir yang tidak pernah ibunya belikan, orang dewasa yang bisa diajak bermain robot-robotan, semua fakta yang kini menjadi kenangan itu semakin membuat kehilangan kali ini lebih sakit rasanya.

"Terima kasih sudah menjadi ayah yang baik, ya?" tangan anak berumur sepuluh tahun itu memegang ujung nisan ayahnya, pegangan yang sama dengan bagaimana sang ayah memegang pundaknya ketika dia menangis.

Orang yang paling terpukul atas kematian Danu adalah isterinya, Wulan. Ia tak bisa berhenti memikirkan sang suami sampai waktu yang tak bisa ditentukan lagi. Setiap hari, wanita itu akan mengurung diri. Sering lupa tentang banyak hal bahkan anak kandungnya sendiri, Pandu Laksamana.
Sehari dua hari, Pandu pun masih merasakan kehilangan itu. Seminggu dua minggu Pandu sudah bisa ke sekolah dan bermain layaknya anak biasa. Satu bulan, dua bulan, bertahun-tahun kepergian Danu mulai diikhlaskan, kecuali oleh satu orang---Wulan.

Pandu hidup sendiri, selain kehilangan ayahnya ia juga kehilangan ibunya. Wulan dinyatakan mengalami gangguan kejiwaan setelah beberapa bulan mengurung diri dan kini wanita itu dikurung di tempat yang berbeda bernama rumah sakit jiwa.
***
Saat ini umur Pandu sudah dua puluh tahun, sudah satu dekade lebih ia menjalani hidup yang kosong seperti ini. Tanpa didampingi sosok tetua, tapi Pandu hidup cukup baik. Ia menjadi anak yang tumbuh tinggi dan berprestasi, wajahnya juga semakin tampan dari hari ke hari. Salah satu alasan kenapa Wulan mencintai Danu sampai gila adalah karena wajahnya yang rupawan, sayangnya semirip apa pun Pandu dengan ayahnya perasaan duka itu tidak hilang juga.

"Halo, Pandu? Uangnya sudah habis kah?" tanya suara wanita di sebrang sana. Dia yang bertanggung jawab meski bukan urusannya, adik ayahnya itu cukup baik.

"Cuma pengen tahu kabar Ibu." Semenjak lulus sekolah menengah atas dan mengenyam pendidikan formal di kota lain mereka memang tidak pernah bertemu lagi. Wanita yang dipanggil 'Ibu' bukanlah ibunya.

"Cukup baik, Pandu. Kamu apa kabar?" Pandu tersenyum sedikit pilu, kabar selalu nomor dua yang pertama adalah uangnya masih ada atau tidak. Pandu tidak menuntut lebih dari bibinya, toh bukan tanggung jawabnya menjadi seseorang yang paling mengerti dirinya.

"Baik juga, Mama apa kabar?" Tujuan utama dari aksi panggilan ini adalah Pandu ingin tahu kabar ibunya sendiri. Apa wanita itu baik-baik saja?

"Seperti biasa." Entah sudah berapa kali Pandu harus mengangguk mengerti, selalu mencoba baik-baik saja setiap hari. Pandu ingin berbicara pada ibunya, memberitahu bahwa Danu junior sudah besar dan sangat mirip meski tidak tahu cara membuat Wulan jatuh cinta. Pemuda berhidung bangir itu tidak pernah kehabisan harapan tentang ibunya yang akan kembali seperti sebelum sepuluh tahun lalu.

Panggilan itu ditutup. Seorang gadis sebaya duduk di sampingnya sambil menyodorkan kap putih coklat berisi kopi, senyumnya manis sekali. Lily selalu datang dengan satu gelas kopi usai kelas berakhir di sore hari. Berharap suatu saat nanti Pandu akan membayar kopi-kopi itu dengan hati. Sayangnya, perasaan hanya dianggap hal bodoh oleh Pandu. Hati pemuda itu sudah mati terkubur bersama ayahnya, cinta hanya membuat budaknya gila setelah terluka.

"Siap besok KKN?" tanya gadis pemilik gingsul itu. Pandu menerima kopi hitam itu lalu meneguknya, ia mengangguk.

***
Perjalanan menuju sebuah desa teh ini sangat panjang. Seisi bus mini yang diisi oleh beberapa mahasiswa itu sudah tampak kuyu, mereka sudah berada dalam mobil sedari pagi dan kini matahari sudah surup bersembunyi. Tidak terhitung berapa kali kaki mereka saling tumpang tindih memposisikan diri sekadar untuk menghilangkan kebas, intinya nanti mereka akan langsung tidur dengan badan lurus---satu-satunya harapan yang dimiliki rombongan KKN ini.

"Pandu!" Seorang gadis di menoleh ke kursi belakang, ada tiga pemuda yang saling bersandar. Namun, yang dipanggil adalah pemuda paling kiri, Pandu juga lelah dia sedari tadi memejamkan mata sambil menopang kepalanya dengan tangan yang bersandar di kaca mobil.

"Apa?" tanya Pandu.

"Bentar lagi sampe."

"Baguslah, mau tidur!" Pandu putus asa sekali dengan perjalanan panjang ini.

Posisi Lily, si gadis ini ada tepat di hadapannya jadi si gadis hanya perlu menoleh ke belakang untuk tetap berkomunikasi dengan rekannya.

"Inget gak cerita Kak Sam?" Pandu mengingat kembali, apa cerita Sam kakak tingkatnya yang tahun lalu juga mengalami perjalanan jauh ini.

"Apa? Desanya berhantu?" Pandu itu meski terlihat tampan dan cerdas tapi sebenarnya dia pikun.

"Anak kepala desa yang bakal kita tumpangi rumahnya itu, agak aneh, Pandu." Tidak tertarik dengan ucapan Lily, Pandu memejamkan matanya lagi. Lagipula apa hubungannya anak kepala desa dan dirinya? Buktinya Sam dan rombongan KKN tahun lalu juga tidak ada yang berakhir cacat atau mati. Lily kesal, sebenarnya ingin melanjutkan aksi cakap-cakap dengan Pandu, tapi sepertinya pemuda itu terlalu kelelahan.

***
Sambutan dari desa mungkin akan agak sedikit kacau karena rombongan KKN datang terlambat. Mereka sudah siap dengan masakan khas daerah terbaik di balai desa. Entah kenapa mereka sangat antusias menyambut kedatangan para muda-mudi dari kota. Suasana desa akan berbeda katanya, mereka juga akan berbinar saat mendengar bahwa hal-hal di kota sedikit lebih maju dibandingkan dengan tempat yang mereka tinggali.
Gerimis di desa ini membuat almamater kampus berwarna maroon yang mereka gunakan berhiaskan bercak-bercak basah. Mereka datang sekitar pukul enam petang, Kepala Desa menyambut mereka dengan keluarga besarnya. Sebenarnya beberapa warga ingin ikut melihat, tapi hujan dan waktu yang mulai petang membuat mereka harus segera pulang.

"Selamat datang, Nak! Mari masuk dulu, makan minum dulu." Bapak-bapak dengan batik merah itu merangkul Pandu yang lebih tinggi darinya untuk segera masuk ke dalam.

Pandu dan teman-temannya melepas almamaternya karena basah. Seorang gadis yang bersembunyi di balik pintu mengamati sosok yang sedang mengusap-usap rambutnya yang semi basah. Pandu terlihat begitu tampan saat ini, meski banyak makanan terhidang yang dia inginkan hanyalah ingin tidur terlentang.

Beberapa saat setelah berbincang-bincang formal dengan kepala desa dan teman-temannya, manik mata kedua insan itu terjebak di titik yang sama. Keduanya punya kesan pertama, yang satunya 'dia tampan' dan yang satu 'oh dia yang aneh itu?'.

Alenia PertamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang