2. Apa yang Aneh?

150 18 21
                                    

Pagi ini, Lily sedang mencari-cari di mana kiranya dia bisa mendapatkan kopi. Pandu mungkin tidak akan bisa bangun kalau tidak ada kopi, pecandu kafein satu itu ternyata menyusahkan Lily di saat-saat seperti ini.
"Eh, Kak. Di sini bisa dapet kopi di mana, ya?" tanya Lily pada gadis cantik berambut sebahu yang tampak sedang menganggur saja di teras rumah.

"Nggak ada," jawabnya.

"Masa nggak ada yang doyan kopi di desa ini?" tanya Lily, ia menghela napas. Mungkin gadis seumurannya itu memang tidak begitu niat menolongnya. Kemudian Lily menemui Ibu Kades untuk meminta kopi.

"Saya mau cari tempat jual kopi di mana, ya, Bu?" tanya Lily si gadis manis. "Pandu gak bisa sehari tanpa kopi."

"Pandu?" gumam anak kepala desa tersebut sembari mengingat-ingat siapakah yang bernama Pandu? Ada empat laki-laki yang datang di rombongan KKN ini. Sandi yang paling tinggi, Arul yang paling pendek, Doni yang paling hitam dan Pandu yang paling tampan.

"Ah ada kopi, nanti aku anterin!" Alenia berlari ke dalam rumah dan segera mematik kayu untuk membuatkan Pandu kopi.

Sang Ibu menggelengkan kepala sambil tersenyum pada Lily yang hanya bisa membalasnya dengan senyuman karier. Gadis itu kembali dari rumah utama lalu hendak kembali ke kamar, ia berkacak pinggang sambil berdecak kesal. Itu pasti gadis bernama Alenia yang digosipkan Sam. Memang seratus persen benar kalau dia aneh dan bukan hanya bahan cerita Sam yang mengada-ada untuk diceritakan pada adik tingkat pasca kuliah kerja nyata di Desa Teh.

***

"Terima kasih, ya? Alenia." Pandu tersenyum simpul setelah akhirnya dia bertemu dengan kopi. Gerimis di desa tadi sore dan juga perjalanan yang jauh membuat seluruh teman-temannya mengalami sedikit pening, apalagi Pandu yang belum bertemu kopi.

"Alen juga bawakan sarapan untuk Pandu dan juga teman-teman." Alenia membuka satu persatu rantang yang semula tersusun, ekspresi gadis itu sangat gembira dan tulus sampai Pandu jadi ikut tersenyum. Ada Lily versi desa teh di sini.

"Kamu masak sendiri?" tanya Pandu mencium aroma makanan yang masih mengepulkan asap tipis yang sedap.

"Ibu, sih yang masak." Ekspresi Alenia berubah. Dia sedih dan merasa gagal karena tidak bisa menyajikan sesuatu yang enak untuk Pandu dari sepasang tangannya itu.

"Terima kasih Ibunya Alen." Pandu mengambil sendok dan mencicipi sayur kangkung, pemuda tampan itu lantas mengangguk karena rasanya cocok di lidahnya. Sepertinya lebih dari satu dekade lalu ia merasakan masakan seorang Ibu.

"Menurut Pandu, apa benar-benar tidak boleh kalau perempuan tidak bisa masak? Maksudnya ... banyak yang bilang Alen bodoh."

"Enggak juga, perempuan boleh tidak bisa memasak. Kan kamu pasti punya hal lain yang bisa dilakukan selain memasak, kan? Hidup itu tidak semembosankan itu, Alen."

"Benarkah?" Alenia nampak semangat, selama ini dia menghuni desa patriarki dan rasanya dia sangat tidak berguna karena tidak pernah bisa memasak dan melakukan pekerjaan rumah dengan baik. Pandu tersenyum karena memang dia baru tahu kalau desa ini memang jauh dari kata maju, Sandi demam saja yang dipanggil dukun hari ini.

Pandu mulai menjelaskan hal-hal yang terjadi di kota. Bagaimana peran wanita sekarang di kota cepat? Semuanya membuat Alenia terpesona. Saat Pandu bersuara mata gadis itu berbinar, sosok Pandu adalah sosok yang paling cerdas yang pernah Alen temui.

***
"Menurut lo anaknya Pak Kades itu suka nggak, sih sama Pandu?" Lily sampai tak fokus mengiris sayur, yang dia perhatikan adalah Pandu yang mengambil air dari sumur ditemani Alen.

"Kayaknya, sih iya. Secaper itu," ujar Ajeng sambil menunggu masakan yang dia rebus mendidih.

"Tapi menurut lo, Pandu bakal pilih gue atau Alen?" tanya Lily sambil berdoa Ajeng akan memberikan jawaban yang dia inginkan.

"Tau tuh Pandu, emang dia suka cewek?" Ajeng tau Pandu hidup seperti itu sejak sekolah menengah atas. Selalu ramah dan tidak pernah menseriusi gadis mana pun, sekarang malah Lily terjebak dalam harap tentang Pandu yang bahkan tidak pernah menganggap cinta itu ada.

***

Gawat sekali, ponsel Pandu tidak mendapatkan sinyal. Hanya tanda silang merah di sebelah baterai padahal dia sudah memanjat batu besar di tengah-tengah kebun teh, ia ingin menghubungi bibinya untuk mengetahui kabar Ibunya.
Pandu turun dari batu lalu menghela napas kasar dan ia memandang sekitarnya, penuh dengan tumbuhan teh.

"Pandu! Cepat ke sini!" teriak Lily, ia bisa melihat tangan Lily melambai di antara tumbuhan teh ini. Sayangnya ia tidak tahu harus mengambil jalan yang mana untuk bergabung bersama Lily dan teman-temannya yang sedang melakukan pengamatan terhadap pendapatan utama orang-orang desa, jalanannya seperti labirin.

"Kenapa Pandu?" tanya Alen yang datang membawa rantang berisi makanan. Untunglah ada gadis ini yang akan membantu Pandu. Sampai detik ini Pandu tidak mengerti letak keanehan Alen. Dia hanya gadis baik seperti Lily.

***

"Pandu, apa kamu hidup dengan baik selama ini?" tanya seseorang yang hampir saja Pandu lupa siapa orangnya?

"Ayah?" tanya Pandu pada angin yang berlalu. Ia merasa dingin di antara ruang hampa kosong, isinya hanya dia dan seorang pria yang berdiri dengan senyuman layu.

"Maafkan aku, Pandu. Karena membuatmu begitu menderita, karena membuat kamu merasakan semuanya. Anak Ayah sudah besar, sudah tidak perlu terluka lagi atas keluarga kita yang sudah hancur ini. Ayah lega, tapi malah kamu kini harus terluka karena hal lain."

Wajah Danu pudar, ruangan itu lenyap menyisakan dadanya yang sesak dan sakit. Semuanya hanya mimpi Pandu, kini ia sadar bahwa dia tergeletak di lumbung yang dingin. Sejauh yang bisa dia lihat hanya sebuah ruangan kayu tanpa pencahayaan sama sekali.

Napas Pandu berbunyi, ia menggeser tubuhnya agar bisa duduk bersandar. Kenapa dia ada di sini? Mungkin pertanyaan mengenai alasan dia berada di sini akan ia pikir nanti setelah ia berhasil segera keluar dari sini dan kembali ke kamar untuk mengambil obat.

"Pandu?" Senyuman dari wajah yang tiba-tiba berada di depannya membuat pemuda itu semakin bingung.

Sebuah lilin menyala setelah Alen menyalakannya, api kecil itu ribut bergoyang karena napas Pandu keluar masuk tak karuan. Jujur saja meski cahaya itu membantu wajah cantik Alen eksis, itu membuat gadis itu terlihat menakutkan.

Oh iya benar, dia memang aneh.

Alenia PertamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang