10. Bendera Merah

79 11 9
                                    

"Iya, Bapak. Alen butuh uang disuruh bayar kuliah ... Ada uang pangkal gitulah, sama Alen minta uang buat jajan juga ya. Makasih, Bapak." Alen tertawa licik setelah sambungan ponselnya tertutup. Ia pura-pura punya tagihan akademik saat dia punya jadwal malam mingguan bersama Pandu. Pandu bersedia menggantikan peran Sam, bukan?

Alen memesan sebuah cafe milik temannya, tempatnya belum buka jadi mereka akan menjadi pelanggan pertama. Alen menyiapkan uang sewa yang dia minta dari kampung untuk itu.
Dia juga sudah menggenggam buku yang Pandu tagih-tagih kemarin. Suasana hati Alen sangat bagus hari ini, padahal belum tentu tanggapan Pandu akan bagus. Akhir-akhir ini Pandu sudah tidak terlalu menolaknya.

***

Pandu belum sempat bersiap-siap untuk menemui Alen. Padahal ini sudah hampir menunjukkan pukul tujuh malam, waktu yang Pandu sepakati sendiri untuk datang.

Pandu bukan orang menyebalkan yang menyepelekan waktu, dia selalu datang tepat waktu. Anak paling rajin selama delapan semester, tapi hari ini dia sedikit berbeda. Dia sedang kewalahan dalam kamar mandi, dia terus menerus mengeluarkan isi perut yang sama sekali tidak nyaman.

"Anjing!" Pandu kesal sendiri karena aksi muntahnya ini sudah berlangsung sejak adzan Maghrib berkumandang, sekarang rasanya sudah hampir mati. Cairan dalam tubuhnya seakan ikut keluar bersama isi perut.
Setelah membersihkan diri usai merasa dirinya jauh lebih baik.

Pemuda semester delapan itu mengusap wajahnya kasar dengan air mengalir. Wajahnya seperti mayat hidup sekarang benar-benar pucat.

Tidak peduli apa yang terjadi pada tubuhnya, Pandu tidak akan ingin mengecewakan Alenia. Gila-gila begitu pasti dia juga manusia yang dapat merasakan kecewa, apalagi katanya akan ada kejutan

Saat mencoba mengancingkan kemeja yang dia sudah setrika sedemikian rupa agar terlihat tidak memalukan di malam minggu, ada sesuatu yang membuat Pandu tersentak. Jantungnya berdetak begitu keras secara mendadak, rasanya akan keluar dari dalam rusuk.

Suara derit kursi yang tergeser paksa terdengar bersamaan dengan tubuh Pandu yang limbung.

***

Dengan baju terbuka seperti ini rasanya Alenia sedang masuk angin. Berulang kali Alen membuka ponselnya atau melirik arloji di pergelangan tangan. Semata-mata hanya ingin mengetahui, jam berapa ini dan di mana Pandu?

Sudah empat jam lebih dia menunggu di sini, hampir tengah malam dan Pandu tidak ada kabar. Matanya berkaca sambil mencengkram gelas di depannya.
Saat air mata leleh, Alen menghapusnya. Mencoba menepati janji, kalau dia tidak akan membuat Pandu kacau apa pun yang terjadi, atau sekadar ingat dia akan selalu mengalah ke Pandu.

"Len, udah malem. Takutnya nggak ada kendaraan pulang lagi lewat." Temannya mengingatkan, mustahil orang akan telat empat jam.

Alen mencoba menguatkan diri, dia memasukkan barang-barangnya seperti bedak dan lipstik ke dalam tas kecilnya. Kemudian melirik sedikit ke arah buku yang ingin berikan ke Pandu.

"Pandu segininya jijik sama gue," ucap Alen, detik berikutnya Alen melemparkan buku tersebut ke tempat sampah.

***

Setelah berhasil siuman rupanya Pandu sudah berbaring di tempat tak dikenal. Beruntung dia membuat suara gaduh saat jatuh pingsan pun pintu tak terkunci sehingga ada orang yang bisa menyelamatkannya di kala hampir meregang nyawa.

Dapat ia rasakan bahwa ada benda tak nyaman masuk ke dalam hidungnya. Apa dia sedang sekarat? Pandu juga merasakan tubuhnya sakit, kepalanya juga terasa berat. Saat di raba ternyata kepalanya juga sedikit terluka akibat jatuh dengan posisi tak menyenangkan.

"Ibu?" Pandu menerka punggung siapa yang sedang membelakanginya, saat mendengar suara Pandu dia menoleh. Wulan yang datang, perasaan Pandu semakin tercampur aduk.

"Kamu sudah bangun?" Senyuman itu semakin mendekat. Dielusnya rambut Pandu yang lebat, Pandu lupa rasanya dirawat Ibu sendiri.

"Mama."

"Aku takut kamu kenapa-kenapa, Mas." Pandu kehilangan senyumannya. Pasti melihat Pandu seperti ini membuat kilasan-kilasan masalalu Wulan kembali dan seingat Pandu, ayahnya memang sering di posisi ini.

"Pandu, udah siuman? Syukur, deh." Sang Bibi datang dari balik pintu, sepertinya baru selesai makan.
Ngomong-ngomong soal makan seharusnya Pandu menemui Alen untuk makan malam bukan?

"Ibu! Ini jam berapa?" tanya Pandu.

"Setengah delapan." Pandu menghela napas, rupanya baru tiga puluh menit. Dia berusaha bangkit, tapi sang Bibi menahannya untuk tetap berbaring.

"Alen nunggu aku dinner, Bu!"

"Dinner apa jam setengah delapan pagi?" Pandu membuka mulutnya, dia melewatkan pertemuan yang mungkin sangat berarti bagi Alenia.

***

Berhari-hari kemudian Alenia seperti menghindari sosok Pandu. Dia lebih fokus pada jam-jam kuliah dan juga memberi makan Instagram dengan berpergian dengan teman-temannya ke suatu tempat bagus.

Pandu kemudian datang ke tempat yang mereka janjikan untuk bertemu beberapa hari lalu. Tempat ini adalah usaha lucu-lucuan anak Sastra, teman Alenia.

"Kopi sama cheese cake satu." Pandu berkesempatan memesan kepada pemilik cafe kali ini.

Setelah memilih duduk di meja yang dipesan Alenia kemarin, Pandu dijamu dengan baik. Ini malam Rabu jadi tidak terlalu ramai, sebab kenapa Melinda sebagai owner duduk di depan Pandu.

"Makasih," ucap sekaligus kode Pandu bahwa sebenarnya Melinda harus pergi.

"Lo jahat banget, sih, Pandu? Biarin Alen di sini nunggu sampe jam sebelas malam?" Pandu sekarang tidak nafsu makan. Dia sendiri juga tidak ingin masuk rumah sakit mendadak, tapi Pandu tidak bisa menyanggahnya.

"Tau nggak se-effort apa dia buat lo? Nyewa tempat ini berjuta-juta, pesenin makanan-makanan enak buat lo, dan ...," Melinda menggantung ucapannya karena dia mengeluarkan buku yang dia pungut dari tempat sampah.

"Dia juga nulis buku itu buat lo." Melinda kesal, dia mendengus dan pergi meninggalkan Pandu yang membisu.

Melinda yang tidak tahu apa-apa saja kesal, apalagi Alenia?
Pandu memasukkan buku itu ke dalam tasnya lalu enyah setelah memberikan pecahan uang dua puluh ribu ke Melinda yang berada di meja kasir.

"Kurang woy!!!"

***

"Len!" Pandu mengetuk pintu, tidak biasanya Alen mengunci pintu. Apa kepalang benci dengan Pandu?

Sementara di dalam sana Alenia yang sedang meyakinkan diri untuk tidak membukakan pintu sedang berjuang. Kenapa dia punya hati yang murahan jika itu soal Pandu?
Sekarang saja dia sedang berdiri tepat di balik pintu. Ingin lebih banyak mendengar bujuk rayu Pandu, padahal kemarin dia sudah bersumpah akan berhenti jatuh hati karena Pandu benar-benar menyebalkan.

"Bukain pintunya, Len. Ayo ketemu." Mendengar itu Alenia dengan hati murahannya berkata demi apa woy Pandu pengen ketemu gue?

"Gak!" Itu yang terlontar dari mulutnya, bohong! Padahal Alenia menantikan ini.

"Gue minta maaf."

"Nggak!"

"Gue emang nggak bisa dimaafin, tapi gue minta maaf!"

"Nggak!!"

"Kalau lo keluar, gue mau jadi pacar lo, deh." Senjata terakhir Pandu sudah keluar, tapi nampaknya Alenia sudah lost feeling.

Saat berbalik badan dan hendak pulang, suara pintu terbuka dan ada seorang gadis yang langsung menerjangnya.

"AYAAAAANG!"

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 13 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Alenia PertamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang