9. Tidak Merasakan Sendirian

77 5 7
                                    

Sudah tidak perlu mengeluarkan uang untuk mencetak tulisannya lagi, bertepatan juga dengan sang Bibi yang katanya baru saja dapat uang arisan dan Pandu mendapatkan jatahnya. Uangnya cukup banyak hari ini, tidak seperti hari-hari sebelumnya.

Uang ada di kantong dan dia juga punya banyak waktu kosong untuk menunggu tanggal wisuda. Pandu duduk bersama teman-temannya yang masih pusing bagaimana cara membenahi coretan-coretan di kertas mereka.

"Kopi," ucap seseorang, Pandu menatap gadis itu sekilas. Seharusnya gadis itu pusing, tetapi sepertinya dia biasa saja. Pandu mengambil kopinya lalu meniup asap yang mengepul itu.

"Nih, minum. Jangan sampai ketiduran lagi biar cepat beres," ujar Pandu sambil memberikan kopi yang sudah menghangat itu ke Lily.

"Aku nggak suka kopi ini Pandu, pait." Setelah mendengarkannya, Pandu meneguk kopi itu sedikit cepat. Lily tersenyum karena merasa Pandu menerima kebaikannya.

Sam kehilangan susu kemasan dari samping laptopnya, Pandu menuangkannya dalam kopi Lily.

Senyum Lily merekah, bunga ini sedang bahagia. Saat Pandu memberikan kopinya, Lily merasa pemuda itu juga memberikan hatinya.

***

Pandu membawa beberapa makanan dalam kantong keresek, isinya adalah makanan-makanan enak yang Pandu tebak akan disukai oleh Alen. Hitung-hitung hadiah sebagai penebusan rasa bersalahnya selama ini yang hanya memberikannya snack-snack murahan.

Kebiasaan buruk Alen adalah membiarkan pintu tak terkunci, siapa tahu akan ada orang tak dikenal masuk dan membahayakan seorang gadis sepertinya? Atau mungkin Alen merasa semua orang sudah takut padanya?

"Alen, coba lihat aku bawa apa?" tanya Pandu sambil menenteng dua kresek besar bertulisan nama minimarket.

"Lagi syukuran apa, sih? Sampai semua orang dikasi makanan?" tanya Alen jutek. Dia sedang mengaduk-aduk kopi yang baru dia buat sendiri.

"Maksudnya?" tanya Pandu, karena dia tidak membelikan orang lain selain Alen.

"Yang gila itu gue atau lu, sih, Pandu?" Alen meletakkan sendoknya kesal, gadis itu menghela napas. Orang seperti Pandu pasti hanya akan berkata 'hah?' sambil kebingungan.

"Lo ini emang suka dikejar atau gimana? Lo gak bisa nyalahin gue karena gue suka sama lo, lo juga gak bisa nyalahin Lily. Atau cewek-cewek yang naksir elo, itu semua salah lo!"

"Lo kenapa, sih?" tanya Pandu.

"Lo yang kenapa?!" bentak Alen.

Pandu meletakkan kresek-kresek snack itu di meja makan. Mata Alen berkaca-kaca, sepertinya ini perkara serius.

"Kenapa? Bagian mana yang nggak lo suka?" tanya Pandu, suaranya dalam dan lembut.

"Kopi." Singkat, tapi Pandu bisa mengerti maksud Alen. Cara menyeduh kopi tadi memang agak romantis.

"Kopi-kopi dari Lily itu punya harapan, Pandu."

****

@aleniaaa

Saam menekan tombol hati pada postingan Alen yang baru saja muncul di laman internetnya.

"Eh siapa sangka, ya? Alen gak kena culture shock sama sekali di Jakarta? Siapa sangka dia anak desa yang gak ada internet itu?" Sam menunjukkan foto itu ke Pandu. Bibir Pandu sedikit tertarik, Alen tidak pernah jelek memang.

"Ada, sih noraknya. Dia nggak bisa pulang sendiri."

"Itu mah biar lo yang anterin," cetus Lily yang baru saja datang membawa kopi, tentu untuk Pandu.

"Haha, kosnya deket." Pandu menerima gelas kopi tadi lalu merogoh koceknya, ada uang sepuluh ribu lecek di saku celananya.

"Sisanya nanti ya, gada uang receh." Menerima uang itu Lily sedikit berpikir.

"Maksudnya apa Pandu?"

"Makasih, tapi lain kali nggak usah ngasih gue kopi lagi. Uang lo buat ngeprint aja, okay?" tanya Pandu.

Lily murung, seperti bunga yang kuncup di musim dingin.

***

Alenia dan Pandu memasuki toko buku di tengah kota. Alen harus membeli beberapa buku untuk mata kuliahnya dan gadis itu rasa untuk urusan buku, Pandu ahlinya.

Saat masuk ke dalam toko yang dipenuhi rak-rak dan tumpukan promo ada seseorang yang mengenali mereka.

"Alen," sapa lelaki yang terlihat seusia itu.

"Ya?" tanya Alen karena merasa tidak kenal.

"Gue yang dm lo di Instagram tolong di follback ya? Gue ada perlu soalnya." Begitu mendengarnya Alen membuka ponselnya dan meminta laki-laki tadi untuk memilih sendiri akun mana yang harus di follback. Setelah saling tersenyum akhirnya mereka berpisah.

Alen sedikit melirik Pandu, tidak ada kecemburuan sama sekali.

"Udah? Buku itu ada di rak sana," ujar Pandu lalu memandu jalan.

"Bentar, Pandu. Ada telfon." Alen mengangkat teleponnya, Pandu menunggu gadis itu menyelesaikan panggilannya.

***

"Siapa tadi?" tanya Pandu sembari bersandar di dinding, mengamati Alen yang sedang memilah-milah buku.

"Sam."

"Sam? Ada perlu apa?" Pandu tahu Sam itu brengsek ke perempuan terlepas dari seberapa baiknya dalam segi pertemanan.

"Mau ngajakin ke bar malam minggu nanti."

"Ke bar???" tanya Pandu kaget.

"Iya," jawab Alen tanpa beban. Harusnya gadis desa akan polos, tapi Alen terlalu menormalisasi hal ini.

"Dan kamu mau?" tanya Pandu.

"Kenapa? Pandu nggak ngizinin?"

"NGGAK!"

"Dih, kenapa? Orang cuma gitu doang."

"Eh, lo tahu sendiri, 'kan siapa yang ngajarin lo hal aneh yang lo lakuin di lumbung sama gue? Itu ajaran Sam, lo mau ke sana bareng Sam?" tanya Pandu.

"Kok marah-marah? Cemburu?"

"Ngapain gue cemburu sama lo?"

"Kalo alasannya karena hal lain selain cemburu gue tetep berangkat!"

Pandu menghela napas, mengacak sedikit rambutnya lalu menatap Alen dengan tatapan lelah.

"Iya cemburu."

"Deal! Nggak berangkat, tapi malam Minggu jangan buat aku feeling lonely. Kamu harus ganti agenda itu pake agenda kita."

"Iyaaaaaaaaa."

Alenia PertamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang