3. Lilin Kecil

112 17 28
                                    

Selain suara jangkrik mungkin hanya suara napas Pandu yang berisik. Lilin kecil di atas lantai kayu telah meleleh hingga hampir padam, rasanya ingin melarikan diri tapi bagaimana bisa mendobrak gembok dengan keadaannya yang hampir mati ini.
Ruangan kecil ini terasa semakin pengap dari waktu ke waktu, Pandu sepertinya tahu kenapa dia bermimpi tentang ayahnya setelah sekian lama.

Dadanya yang sakit sedikit membaik, ada seseorang yang tak lain adalah Alen memberikan pasokan udara dari mulutnya. Pandu merasakan bibir lembut Alen menyentuh miliknya yang kering, pemuda sakit itu tak sempat menikmati atau protes terkait napas buatan itu. Yang bisa dilakukan hanya memejamkan mata dan mengolah udara yang diberikan Alen dengan baik.

Beberapa saat kemudian napas Pandu mulai membaik, ia mendorong tubuh Alen agar pangutan mereka terlepas.

"Kamu mau apa?" tanya Pandu, membenarkan posisi duduknya agar terduduk sempurna.

"Kamu. Aku mau kamu," ujar Alen sambil tersenyum tanpa dosa.

"Maksudnya?" tanya Pandu.

"Aku suka kamu, sayang dan dengan jelas aku katakan kalau aku juga mencintaimu." Setelah mengatakannya, Alen melepaskan kancing kemejanya satu persatu. Pandu mendesis sambil memejamkan matanya, ia bisa melihat tubuh Alen meski hanya cahaya remang yang menjadi alat bantu lihatnya.

"Alen! Kamu mau apa?" tanya Pandu, mau sekuat apa pun Pandu bilang dia anti romansa tetap saja dia adalah seorang pria.

"Sam bilang bukti cinta itu seperti ini." Kemeja itu turun dari tempat, ia bisa melihat dengan jelas kulit putih Alen seperti bulan purnama.

Pandu mengambil kembali kemeja yang tergeletak di lantai. Memasangkan kembali pada Alen lalu mengancingnya satu persatu sampai Alen terlihat enak untuk dilihat.
"Sam tidak benar."

"Terus gimana caranya kamu tahu kalau aku benar-benar cinta kamu?" protes Alen. Karena keanehannya ini banyak pihak yang mencoba memanfaatkannya, dan ternyata bajingan Sam itu sudah melakukan hal sejauh ini. Menceritakan hal aneh tentang Alen agar tidak ada yang mengendus perbuatannya.

"Aku tahu, aku tahu," ucap Pandu sambil sesekali terbatuk.

"Mana mungkin kamu percaya begitu saja pada orang yang berbicara?" Justru sebenarnya Pandu ingin menanyakan itu padanya.

"Seperti perempuan tak harus bisa memasak dan cinta tidak harus melakukan hubungan badan." Lilin kecil itu mati, sekarang keadaan lumbung gelap total. "Tapi kalau kamu benar-benar mencintaiku, jangan biarkan aku mati di sini."

Alen membuka pintu kayu usang yang tergolong sangat kokoh itu. Akhirnya Pandu bisa menghela napas meski masih berbunyi, ia bisa melihat lampu kuning di luar. Dengan tubuh bergetar Pandu keluar dari ruangan sempit ini, tertatih dan hanya memikirkan satu tujuan.

"San! Sandi!" Pandu menggedor-gedor pintu setelah berjalan terseok cukup lama.
Sandi sebagai teman sekamarnya lantas membuka pintu.

"Dari mana lo jam segini? Dan ... ya ampun kaya zombie!" Tanpa mendengar pertanyaan-pertanyaan Sandi, Pandu langsung masuk dan mencari letak obat asmanya. Kemarin udara begitu dingin sehingga memicu asma Pandu.
Saat ditarik Alen pun Pandu tidak menaruh curiga sama sekali akan di bawa ke lumbung.

***

"Pandu, kamu nggak telpon Ibu kamu? Kemarin kamu sakit, 'kan?" tanya Lily yang sibuk mengambil beberapa lauk ke dalam piring untuk Pandu. Ketara sekali gadis ini kalau sedang naksir brutal, batin Ajeng dan teman-teman lainnya.

"Makasih," ucap Pandu setelah menerima piring dari Lily. "Mana mungkin bilang sakit, yang ada bikin khawatir. Lagian udah gak apa-apa juga."

"Butuh telpon gak berarti?" tanya Lily.

"Ya butuh, Ibu juga pasti ngomel kalau nggak ditelpon."

"Pak Kades abis pasang wifi!" Lily semangat sekali rasanya. Sudah lama setelah dirinya hidup tanpa internet.

Sementara Pandu sangat ragu untuk datang mendekati rumah Pak Kades mengingat ada orang seperti Alen di sana. Pasti canggung setelah ia batal bercinta tadi malam.

"Nanti bareng-bareng aja, Ndu. Kita izin ke Pak Kades buat hubungin keluarga. Baik kok kadesnya." Itu suara Arul, kalau dengan banyak teman begini setidaknya Pandu merasa aman.

***

Sore ini setelah kegiatan pengajaran baca tulis dan les tambahan bagi anak-anak desa di rumah Pak Kades niatnya mereka ingin segera meminjam wifi. Sayangnya sepertinya jarum jam begitu lambat bergerak, seharusnya mereka menghabiskan satu jam untuk durasi les. Sayangnya desa ini begitu tertinggal dan begitu pun anak-anaknya yang masih sulit membaca meski diajari berkali-kali.

"Ihh masa lupa lagi?" kesal Lily, Pandu menepuk pundaknya. Wajar saja kalau Lily tidak bisa menjadi pengajar, jurusan mereka memang bukan pendidikan.

Rasanya masuk ke desa teh membuat mereka harus menjadi relawan. Pengobatan tidak ada, pendidikan kurang memadai.

Akhirnya selesai juga, anak-anak kecil itu berlarian keluar sambil membawa snack yang Ajeng tadi berikan.

"Minum dulu tehnya, Nak." Bu Kades menyuguhkan teh yang pasti berasal dari perkebunan mereka sendiri.

Alen juga ikut membantu membawa nampan berisi camilan.
Pandu dan yang lain berterima kasih atas jamuannya, pemuda berhidung lancip itu meneguk teh hangat itu dengan suka cita.

"Yang ini, Bu. Alen mau nikah sama yang ini." Alen menunjuk-nunjuk Pandu, teh yang sudah masuk ke mulut delapan mahasiswa itu keluar lagi secara bersamaan.

"Maaf, Bu." Pandu mengusap mulutnya yang basah. Tentu Lily dan yang lain juga kebingungan dengan niat Alen yang begitu blak-blakan.

"Alen! Kamu jangan begitu," bisik Bu Kades.

Alen mengambil tempat duduk di sebelah Pandu. Gadis ini cantik tapi sungguh membuat Pandu tidak nyaman. Bahkan jika dia mau membuka hati pasti Lily sudah mendobraknya dari awal, bukan gadis gila semacam ini.

"Buku apa ini, Pandu?" tanya Alen saat menyadari ada buku di dalam tas Pandu yang terbuka.

Pandu tersenyum karier ke arah Ibu Alen. Beliau pun sama, seakan kelakuan Alen membuat mereka tidak enak satu sama lain.

Bukannya cinta itu seharusnya tidak ada? Dibandingkan menghasilkan hal-hal baik sepertinya cinta lebih sering menghasilkan petaka

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Bukannya cinta itu seharusnya tidak ada? Dibandingkan menghasilkan hal-hal baik sepertinya cinta lebih sering menghasilkan petaka. Aku mengingat sebuah cerita yang besar tentang cinta.

Seorang pengacara yang rupawan jatuh cinta kepada gadis desa yang membuatnya tergila-gila. Mereka menikah dan mempunyai seorang anak, bahagia rasanya.
Rasa cinta itu sungguh besar, menciptakan ruang besar juga untuk keluarga kecil itu bahagia.

Sang Pengacara kemudian pergi, gadis desa sangat kehilangan bahkan sampai kehilangan akalnya. Anak kecil di antara mereka kehilangan keduanya, dunianya, semestanya.

Anak kecil itu, berhenti mempercayai cinta.

Tulisan rapi dari pulpen itu tercetak di halaman pertama buku yang Alen pinjam dari Pandu. Ini cerita karangan Pandu atau anonim dari hidupnya sendiri?

Alenia PertamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang