5. Buku dari Pandu

106 17 18
                                    

Beberapa bulan setelah kepergian rombongan mahasiswa, keadaan desa menjadi biasa saja. Hari ini rupanya ada yang berbeda, ada tukang pos berseragam merah yang datang dengan sebuah kotak coklat. Tertulis dengan jelas bahwa paket itu untuk Alenia, lagi pula di desa yang tertinggal ini jarang sekali orang yang berbelanja online karena kendala sinyal.

Gadis dengan kulit putih bersih alami itu tersenyum. Karena jelas tertera pula bahwa pengirimnya adalah Pandu Laksamana.

"Pandu benar-benar pilihan yang tepat. Dia nepatin janjinya." Alenia tersenyum dan tertawa girang, sebelum membukanya ia bahkan menghirup bau paket tersebut. Bau buku, tidak tertinggal bercak aroma Pandu sama sekali karena mungkin paket ini telah mengalami perjalanan yang panjang, terbukti dari bagaimana ujung-ujung kertas pembungkus itu tampak lencu.

"Alenia ... Pertama." Senyum Alen semakin mekar saja. Bagaimana tidak senang dan bahagia saat seseorang yang sangat dikagumi membuatkan buku setebal 215 halaman dengan judul namamu sendiri?

Alenia berdiri, memeluk bukunya, lalu berputar dan menari saking senangnya.

"Terima kasih, Pandu." Alen lantas duduk di bawah pohon dan membuka halaman bukunya. Ada tulisan rapi Pandu yang membuat kewarasan Alen rasanya ikut terbang bersama awan di angkasa.

Hai Alenia, banyak hal yang harus kamu pelajari di dunia ini. Namun, yang terpenting adalah pesanku yang sudah kamu pelajari terlebih dahulu.

Perempuan tidak ditakdirkan hanya untuk memasak dan menjadi objek pemuas nafsu.

Pandu Laksamana untuk Alenia 🌼

****

"Dicoret lagi, Ndu?" tanya Sam pada juniornya yang terlihat lebih kurus dari pada sebelumnya. Penampilan Pandu pun sudah sedikit berubah, tertular Sam mungkin. Acak-acakan karena sering kurang tidur dan stres.

"Lo nanya gitu sementara lo bimbingan bareng gue, Sam?" tanya Pandu pada mahasiswa abadi yang duduk di kelas kosong. Sam hanya tertawa dia memang tidak memikirkan terlalu dalam terkait skripsi, organisasi lebih penting menurut penalaran seorang Sam.

"Lo sakit, Ndu?" tanya Sam kemudian pada Pandu yang mulai meneliti di mana letak coretan pulpen Dosen Pembimbing yang sangat ribet itu.

"Enggak, sakit apa?" tanya Pandu sebagai sebuah jawaban.

"Ini, tadi Lily nitip kopi, camilan, sama antangin. Katanya lo muntah-muntah tadi pagi sebelum bimbingan." Sam menyodorkan antangin dan juga kopi.

"Camilannya mana?" tanya Pandu.

"Pajak titipan hahaha." Sam tertawa dan Pandu hanya menggeleng.

Pemuda itu mengeluarkan ponselnya lalu memotret kopi dan juga antangin yang Lily berikan. Gambar itu terkirim ke si bunga cantik yang selalu setia mengorbankan sisa-sisa uangnya untuk membelikan Pandu kopi, berharap rasanya akan terbalas tapi sepertinya Pandu hanya laki-laki kolot yang tak mau menelisik alasan Lily lebih jauh.

"Lo itu suka nggak, sih sama Lily?" tanya Sam. Banyak orang bilang Pandu dan Lily adalah pasangan serasi. Pandu juga tidak protes, Pandu juga tidak risih dengan kehadiran Lily di sekitarnya.

"Nggak." Tapi Pandu juga tidak bisa berbohong pada siapa pun tentang perasaannya.

"Lo lebih brengsek dari gue tau, Ndu. Orang bilang gue brengsek tapi lo lebih bajingan." Pandu menaikan alisnya. Inikah sosok yang dipanggil di acara pekan prestasi karena buku Alenia Pertama cukup laku di pasaran? Rupanya sebodoh ini, batin Sam.

"Dengan lo baik sama cewek, itu buat mereka mikir lo suka balik tahu sama mereka. Apalagi Lily, lo terima semua perlakuan manis dia dan lo kaya ngasih harapan tau gak?"

"Ya masa Lily ngasih kopi gue siramin ke muka dia."

"Minta dia untuk berhenti kalau minta balas perasaan." Pandu terdiam setelah playboy kelas kakap selesai memberikan petuah.

***

Padahal baru beberapa saat lalu Alenia bersorak gembira sambil menari-nari bersama sebuah buku. Rela ditempeli stereotip gila oleh orang-orang. Senyum sumringah Alen berubah menjadi ekspresi duka. Air mata Alen turun jatuh ke halaman terakhir buku tersebut.

"Pandu jahat banget, nulis ending yang sedih nggak jelas banget! Orang gila! Psikopat!" Alenia kesal sampai menutup wajahnya dengan bantal berulang kali agar keluarganya tidak tahu dia sedang menangis. Ya, keluarganya sebenarnya sudah cukup memaklumi kalau dia sedikit aneh dan mendekati gila, tapi Alen tidak mau kalau orang tuanya tahu penyebabnya adalah Pandu. Sedang menyelamatkan nama baik Pandu agar jika berjodoh nanti dipermudah mendapat restu.

"Ini aku salah baca apa, ya?" tanya Alen sambil kembali mengambil buku barunya yang telah selesai dibaca. Mengulangi bacaan yang sama, menangis kembali berikutnya. Siklus tidak enak yang tetap Alen lakoni untuk Pandu.

***
Bulan pun menginginkan tetap menemani bumi yang takut dengan malam.
Setiap petani teh pun berharap akan memiliki daun teh bercita rasa hebat.
Setiap petani menanam padi, ia pun berdoa agar tercipta beras-beras yang pulen dan berisi.

Terkadang bulan tenggelam di gerhana dan awan hitam, terkadang para petani juga lupa berekspetasi bahwa panen tidak paten terjadi.

Aku, kamu, dan mereka. Ingin, berharap, dan berdoa mendapatkan hal-hal bahagia. Sayangnya hal-hal tersebut terlalu naif dan tidak nyata

Cuplikan tulisan Pandu
di buku Alenia Pertama halaman 213

***

"Pandu ... jika ada Alenia Pertama seharusnya ada Alenia Selanjutnya, 'kan?" Alen mengusap sampul buku, mengawang dan kembali memikirkan Pandu

***

"Lo mual gak sih liat Microsoft Word?" tanya Ajeng pada rekan-rekannya yang sedang berkumpul untuk mengganjal perut.

"Lah Pandu malah muntah-muntah udah, saking over hard worknya." Lily ini sering menyelipkan Pandu di setiap topik. Benar-benar ketara kalau sedang naksir brutal.

Pandu hanya tersenyum untuk menanggapi gadis-gadis tukang mengeluh. Ia lebih memilih untuk membuka ponsel untuk menghibur diri dan ternyata ada surat elektronik yang memancing niat Pandu untuk membuka aplikasi email.

From: aleniapertama@gmai.com
To: laksamanapandu@gmail.com
Subjek: Pemberitahuan Penting

"Pandu, terima kasih ya sudah tepati janjimu soal buku. Aku juga ingin menepati janjiku untuk berhenti mengganggumu selama dua bulan. Ini sudah lebih dari dua bulan semenjak hari itu ngomong-ngomong. Aku akan mengganggumu lagi besok hahaha tunggu aku yaaaa"

"Masih aja gila," ujar Pandu lantas mengkategorikan pesan Alen menjadi spam yang mengganggu.

Alenia PertamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang