Sudah 30 menit lamanya Wildan duduk di ruang tamu, menunggu adiknya yang tak kunjung pulang dari sekolah.Jam menunjukkan pukul 5 sore lebih 30 menit. Seharusnya gadis itu sudah tiba sejak satu jam yang lalu, kalau memang dia tepat waktu.
Pemuda itu berdecak berkali-kali. Intinya Wilona harus sudah di rumah sebelum Wirawan pulang.
Atau Wildan akan habis jika Papa mereka tahu, dia tidak mengurus adiknya dengan baik.
Pintu terbuka. Wilona melangkah masuk sambil mengecek barang yang dia bawa di dalam tas kartos. Baru beberapa langkah, Wildan sudah berdiri menghadang adiknya itu.
"Dari mana? Kok jam segini baru pulang?" Tanya Wildan, ketus.
Wilona melihat jam tangannya. "Masih ada 30 menit. Aku nggak terlambat pulang, kak."
Wildan berdecak kesal. "Udah berani jawab sekarang? Udah gede ya lo?" Sindir pemuda itu. Selama ini Wilona memang hidup dengan sangat taat aturan yang dibuat Papa dan kakaknya itu.
"Kak, aku capek. Jangan sekarang," kata Wilona, mengeluh.
"Jangan keras kepala. Turutin aja apa yang udah seharusnya," balas Wildan memperhatikan.
"Kenapa kakak peduli aku mau pulang jam berapa? Bukannya kakak selalu nggak peduli sama aku?" Protes Wilona. "Daripada kakak repot-repot ngurusin aku, lebih baik kakak urusin kak Gea aja. Dia lebih butuh perhatian kakak," lanjutnya dengan berani.
Wildan terlihat tak suka dengan apa yang adiknya katakan. Seolah Wilona merendahkan pacarnya.
"Awalnya gue mau minta maaf soal kejadian waktu itu karena Gea yang nyuruh. Tapi liat kelakuan lo begini, gue jadi ogah ngelakuin itu."
Gadis itu tersenyum kecut. Dia hampir saja salah paham karena tiba-tiba Wildan memperhatikan jam pulangnya dari sekolah.
Wilona menghela napas panjang. "Bagus lah. Dengan begitu aku jadi tau, kakak minta maaf bukan tulus dari hati. Coba kalo kakak nggak bilang begini? Pasti aku udah salah paham, mengira kalo kakak benar-benar menyesal."
"Kalo lo masih mau diakui di keluarga ini, jangan coba-coba hidup seakan lo nggak butuh gue. Jangan lupa, lo itu bukan siapa-siapa tanpa keluarga gue." tegas Wildan.
Lagi-lagi Wildan menegaskan posisnya yang bukan apa-apa. Gadis itu menahan air matanya yang sudah menggenang. Dia tidak ingin terlihat lemah di depan siapapun, termasuk kakaknya sendiri.
"Aku nggak lupa, kok. Bukannya selama ini aku hidup sesuai dengan apa yang kalian mau? Iya, kan?" Wilona mengusap air matanya yang menetes tanpa persetujuan darinya.
"Makanya, kak. Jangan peduliin aku seperti biasanya. Jangan anggap aku ada seperti yang biasa kakak lakuin. Dengan begitu aku nggak akan berat hati buat ninggalin kalian," ucap gadis itu, lalu melangkah pergi meninggalkan Wildan yang terdiam seribu bahasa.
Wilona tidak pernah seserius ini. Gadis itu terlihat bertekad ketika mengatakan hal itu, membuat Wildan jadi bingung sendiri.
Dia merasa ada sesuatu yang hilang dari Wilona. Tapi apa???
🏮🏮🏮
Wirawan mengecek hasil kuliah Wildan selama beberapa semester. Bahkan dia juga mengecek tugas terbaru yang diberikan dosen pada putra sulungnya itu.
"Kamu nggak terlalu cepat buat KKN, Wil?" Tanya Wira memastikan.
"Dosen bilang aku udah siap buat terlibat. Jadi kemungkinan aku juga bisa lulus lebih cepat. Bukannya itu bagus, Pa?" Jawab Wildan.
"Lebih baik begitu. Ambil S2 jangan di sini. Ke Kanada biar sekalian ngurus cabang baru yang di sana," kata Wira.
Mereka duduk di ruang tengah sambil menunggu Wilona yang belum juga turun dari kamarnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
IGNITES
Teen Fiction(Tersedia Versi eBook) Mendengar namanya saja sudah membuat Wilona bergidik ngeri, apalagi bertemu dengan sosoknya langsung. Mungkin Lona akan kabur begitu melihat bayangannya saja. Jaglion, si cowok paling sadis 'katanya'. Bukan hanya wajahnya yang...