hold on

303 56 3
                                    

ayo beri bintang heheheheh terima kasih <3


 happy reading


Indra pendengarannya menangkap bising ribut dari sekitarnya, matanya enggan terbuka kala suara sang papa begitu memutari gendang telinganya, ia muak sungguh. Asahi tahu, pria itu pasti tengah berbahagia entah sebab apa, cekikikan dari pria berumur itu disahuti oleh suara yang lebih ringan, suara itu asing, Asahi tidak mengenalnya.

Asahi hendak membuka matanya sebelum usapan lembut pada kepalanya membuat Asahi risih, ia ingin menepisnya, namun tenaganya seolah terkuras habis kali ini, Asahi juga tidak cukup bodoh untuk menyadari bahwa ia tengah berada di ruang rawat inap, selimut yang membungkus tubuhnya tidak selembut miliknya di rumah, juga wangi khas obat yang Asahi tidak suka.

Asahi sangat kesal setiap kali merasa dirinya di rumah sakit, sejak pria itu mengandung ia sering kali bolak-balik kemari, itu membuatnya sedikit jengah. Suara pintu terbuka membuat Asahi semakin menajamkan telinganya, masih hendak membuka matanya dan memilih berpura-pura belum sadar.

"Aku belum bicara keadaan pasien kan?" ahhh, rupanya yang masuk pasti pria berjas putih khas dokter itu. Asahi tak mendengar apa yang sang papa timbalkan, ia kembali memasang telinganya berusaha mendengar apa yang akan dikatakan oleh pria disana.

"Aku tidak tahu apa yang sebenarnya pasien pikirkan, namun berdasarkan pemeriksaan, pasien dapat mengalami stress berat apabila terus berpikir terlalu keras, itu juga dapat mempengaruhi janinnya, namun syukurnya janin yang dikandung pasien cukup kuat," Asahi ingin berbahagia kala pria disana menyatakan bahwa anaknya tidak lemah.. ahh, ia terlalu takut apabila janin yang ia kandung itu benar-benar pergi sebelum bertemu dirinya, Asahi akan sangat menderita.

Dokter itu melanjutkan ucapannya, "Namun jika pasien terus mendapat tekanan, janin nya juga dapat ikut melemah, janin itu dapat merasakan perasaan sang ibu," seruan pria itu membuat Asahi merasa bersalah, tidak seharusnya pria itu memikirkan terlalu banyak masalah yang menimpanya, seharusnya ia membiarkan segalanya berjalan sebagaimana seharusnya.

Asahi tak dapat mendengar percakapan itu lagi karena rupanya sang papa telah membawa pria itu keluar, Asahi sedikit mengepalkan tangannya yang masih cukup lemas, ia tau langkah apa yang harus ia ambil kali ini.

"Aku tau kau sudah sadar, buka matamu sekarang, Asahi." Perintah yang membuatnya cukup tersentak, ujaran sang papa membuat Asahi mau tidak mau membuka matanya. Kala netra keduanya bertemu, Asahi memalingkan wajahnya, tak bisa dipungkiri bahwa Asahi sangat kesal melihat tatapan itu.

"Kau gagal membawa kekasihmu menemuiku kemarin malam, sesuai persetujuan kau akan menikah dengan pria pilihanku saat ini juga." Tidak.. Asahi rasa telinganya salah dengar, tak mungkin kan.. saat ini dengan setelan rumah sakit dan mata yang baru saja terbuka?

"Tak perlu persiapkan dirimu karena aku yakin kau sudah seharusnya siap menerima konsekuensi ini," seruan sang papa itu ingin Asahi raungkan.

"Aku akan menikah dengan pria pilihanmu, tapi tidak saat ini juga, Pa?!" ujaran Asahi cukup kuat, demi apapun, ini terlalu gila bagi dirinya.

"Kapan lagi Asahi? Calon suamimu sudah menunggu bersama penghulu, kau akan menikah saat ini juga." Sang papa beranjak keluar, memanggil mempelai untuk masuk, hhh haruskah Asahi memanggilnya mempelai? Ini membuat tubuhnya merinding.

Tak Asahi sadari bahwa sejak tadi sang mama berdiri dengan sedu di ujung sana, jauh sekali dari Asahi. Asahi ingin menangis kala sang papa benar-benar akan menikahkannya dengan orang yang asahi tidak kenal sama sekali, demi apapun ia tidak akan pernah rela. Asahi tersentak untuk yang kesekian kali saat sang mama berlari mendekatinya sebelum beralih bersujud di kaki sang papa. Apa.. maksudnya..

"Aku mohon biarkan Asahi menikahi pria pilihannya.." seruan itu membuat Asahi meluruhkan air matanya. Hatinya begitu nyeri kala melihat sang mama bersujud sembari memohon untuknya.

Asahi bangkit dengan terburu, tidak memperdulikan infus yang akan bercampur dengan darahnya, ia memaksa sang mama untuk bangun meski berulang kali wanita itu menolaknya.

"Ma.. Asahi tidak apa-apa, tidak perlu seperti ini," sedunya, memeluk sang ibu erat sembari merapalkan kata maaf berulang kali.

Setelah beberapa saat yang cukup membuat ibu dan anak itu tidak karuan, kini Asahi telah duduk di kursi panjang bersama calon suaminya, ya.. calon suaminya. Penghulu yang sang papa panggil juga beberapa saksi yang berada disana merasa ketegangan, lain dengan Asahi, pria itu sangat ingin kabur dan menangis dengan keras.

"Apakah kalian siap? Ulangi apa yang saya akan katakan untuk mengikat kalian menjadi sepasang suami yang akan saling mencinta sampai maut memisahkan," seruan itu tak Asahi dengar, pikirannya kosong, kepalanya seperti berputar hebat kala pria disebelahnya mengatakan janji suci dengan lantang dan tanpa hambatan, kali ini... gilirannya.

Asahi menarik napanya panjang, rasa sesak memenuhi hatinya, sebentar lagi ia akan terikat dengan pria yang ia tidak pernah tau siapa, bibirnya seolah kelu, berat sekali untuk mengucapkan apa yang tidak ingin ia ucapkan.

"Aku.. Asahi men-"

Brak!

Seruan Asahi terpotong kala dobrakan dari arah pintu terdengar begitu kuat, Asahi rasa pintu itu akan pecah sebentar lagi. Tapi lupakan pintu! Netra Asahi membola kala menatap dengan terkejut siapa yang berhasil menerobos tanpa permisi itu. Kekasihnya.. disana, tergesa menghampirinya sebelum merengkuh tubuh ringkih Asahi yang kini telah meluruhkan yang sedari tadi tertahan di pelupuk matanya.

"Jae-Jaehyuk.." seruanya pilu. 


to be continue

Our FaultTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang