don't troublesome your 'papa'

452 62 3
                                    

୧⊰⁠⊹ฺゞ๑ノ\◠

Gema tawa dari ruang tengah seketika hilang, Asahi berlari rusuh ke kamar mandi. Dirinya muntah-muntah lagi, meski tak ada apapun yang keluar, dirinya merasa perutnya seperti diaduk-aduk dengan kencang.

"Huek, huek."

Suara muntahannya kini terendam dengan isak tangis yang pria mungil itu keluarkan, dirinya kesal, mengapa morning sickness nya semakin menjadi. Vitamin yang diberikan oleh dokter muda itu malah semakin membuatnya ingin muntah setiap saat.

Bahkan kini perutnya menolak air putih, hanya seteguk air putih pun tak ingin masuk melalui tenggorokannya. Asahi menengadahkan kepalanya, mencoba agar air matanya tak turun lagi. Dirinya jadi menyesal kemarin telah berbahagia mendapati buah hati yang hidup dalam dirinya, jika ternyata sesulit ini Asahi tak mau.

Dirinya lelah, tak ada siapapun yang membantunya, bukannya tak ada, tapi Asahi memang belum membicarakan tentang kehamilannya pada siapapun selain Junkyu waktu itu. Dirinya masih terlalu takut dengan respon keluarga dan juga.. Jaehyuk.

Tangisannya semakin kencang, ada kalanya di tengah kesulitannya dirinya ingin sekali menggugurkan janinnya. Tapi berkali-kali pikiran buruk itu ia tepis dengan keras, berkali-kali juga pipinya merah akibat tamparan dirinya sendiri. Asahi membutuhkan setidaknya satu orang untuk berada di sampingnya, Junkyu terlalu sibuk dengan maket miliknya hingga belum sempat mengunjunginya.

"Jaehyuk.." lirihnya pelan, tangisannya lagi-lagi kian menjadi, dirinya rindu pria itu.

Tubuhnya meluruh di lantai kamar mandi, menarik napasnya pelan berharap sesak akibat tangisannya berkurang. Telinganya mendengar pintu apartemennya terbuka, ahh ia berharap itu adalah Jaehyuk.

"Asahi?" panggilan itu membuat harapannya musnah seketika.

Brak

"Asahi? Astaga kau sedang apa?" Junkyu menariknya berdiri perlahan, melihat wajah kacau sang sahabat yang membuat hatinya meringis nyeri.

Junkyu menarik Asahi ke dalam pelukannya, menepuk punggung sahabatnya itu pelan, mengucapkan beribu maaf karena tak ada bersamanya beberapa hari terakhir.

"Maafkan aku Asahi, harusnya aku ada bersamamu, maafkan aku," ucapnya yang kini ikut meluruhkan tangisannya juga.

Asahi menjauhkan tubuhnya, menatap wajah berair sahabatnya itu lalu menghapuskan sisa-sisa air mata di pipi tembam Junkyu. Beginilah keduanya, jika Asahi menangis, maka Junkyu juga akan ikut menangis, dan begitu juga sebaliknya. Keduanya seolah membagi lukanya bersama.

Prinsip keduanya, jika Asahi terluka maka Junkyu juga harus terluka, dan ia harus jadi obatnya, begitu juga sebaliknya.

"Aku tidak apa-apa, Junkyu," ucapan Asahi membuat Junkyu menggeleng.

"Tidak apa-apa bagaimana?! Kau menangis sendirian di kamar mandi tadi! Jika ada apa-apa bilanglah padaku, Asahi. Kau tau jika aku tidak se-peka itu, jadi kumohon bilanglah apapun padaku."

Asahi menggeleng sembari tersenyum kecil, membawa Junkyu untuk duduk di karpet berbulu depan TV. Asahi mengambil kertas yang diberi dokter Doyoung kemarin, memperlihatkannya pada Junkyu. Berniat memberi tau bahwa baby banana smoothie benar-benar hadir dalam dirinya.

"Dia.. ada disini?" ucap Junkyu menunjuk perut Asahi.

Asahi mengangguk kecil, mengambil tangan Junkyu pelan lalu menempelkannya pada perut ratanya. Meski sudah tampak keras, baby banana smoothie masih belum terlihat.

"Hallo calon bayi, aku Junkyu, pamanmu. Eh, tidak paman, aku tidak ingin jadi uncle, aku mau menjadi kakak saja," ucapan Junkyu membuat Asahi tersenyum kecil.

Our FaultTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang