what should we do?

310 55 3
                                    

happy reading

A

sahi melangkahkan kakinya memasuki rumah, jantungnya berdebar kala netranya menangkap mobil yang terpakir apik di garasi rumahnya, itu tandanya sang papa sudah kembali dari kantornya. Asahi berusaha menenangkan debar jantungnya, meyakinkan diri sendiri untuk tetap melangkah memasuki rumahnya, lalu mengatakan apa yang ia inginkan pada sang papa.

belum sempat jemarinya menggapai gagang pintu, pintu di hadapannya telah terbuka lebar menampilkan sang papa yang sudah mengeraskan rahangnya.

"Kau sudah mengugurkan anak itu?" pertanyaan itu membuat Asahi menelan ludahnya gugup.

"Aku.. aku tidak bisa.." seruan itu membuat sang papa menarik tangannya untuk memasuki rumah tanpa aba-aba, Asahi meringis nyeri.

"Kau harus memikirkan dirimu sendiri, Asahi! Jika kau tetap tidak ingin mengugurkannya, aku akan tetap menikahkanmu dengan pria pilihanku!" ujaran itu tampak tegas, seolah bicaranya ialah hal mutlak, Asahi kelu untuk yang kesekian kali.

"Pa.. aku mohon, biarkan ia tetap bersamaku," jawabnya lagi membuat sang papa menghela napasnya kasar.

"Aku sudah katakan padamu jika kau tetap ingin mempertahankannya, kau harus menikah secepatnya." Lagi, lidahnya begitu kelu untuk menolak keinginan sang papa.

"Aku tidak mau!" Asahi meninggikan suaranya kepada sang papa, pria itu membulatkan matanya atas seruan Asahi kali ini.

"Mau tidak mau kau harus menurutiku! Aku akan menikahkanmu besok, dan kau tidak punya alasan untuk menolaknya sama sekali!" Seruan sang papa kali ini membuat Asahi benar-benar ingin meraung keras, ia ingin menolaknya sungguh.

"Pa??? Aku bisa membesarkannya sendiri, kumohon aku tidak ingin menikah dengan siapapun.." Asahi berujar dengan lesu, dirinya benar-benar tak tahu lagi apa yang harus ia lakukan.

"Jika kau tidak ingin aku menikahimu dengan pria pilihanku, maka kau harus menikahi kekasihmu yang tak bertanggungjawab itu. Jika kau bisa, kau bawa ia untuk menemuiku malam nanti, maka aku tidak akan menikahimu dengan yang lain," seruan itu tampak mutlak, kini Asahi dibuat bingung setengah mati.

Ia tidak yakin jika Jaehyuk akan benar-benar bertanggungjawab, ia juga tidak yakin jika ia bisa membawa pria itu ke hadapan sang papa malam nanti, ini sudah sore.. itu tandanya ia hanya memiliki waktu beberapa jam untuk mencari cara agar tak dijodohkan oleh sang papa.

"Akan aku usahakan," serunya yakin, ia hanya berharap bahwa takdir bekerja dengan baik kali ini.

Sang papa mengangguk pelan, meninggalkan Asahi di ruang tengah seorang diri sebelum pria itu ikut melipirkan langkahmya ke kamar miliknya sendiri. Asahi memutar otaknya mencari cara apa yang bisa ia lakukan, membawa Jaehyuk berhadapan dengan sang papa sepertinya akan sulit. Memilih kabur dari rumah dan menjauh dari orang tua juga bukan pilihan mudah. Tapi sepertinya, melarikan diri akan ia jadikan opsi kedua saja.

Ia mengambil ponselnya, menekan nomor sang kekasih berulang kali, jangan tanya bagaimana ia bisa memiliki nomor itu, sebab Asahi selalu mengingat dari setiap digit nomor sang kekasih. Katakan saja jika ia bucin mampus, karena nyatanya memang begitu. Berulang kali panggilan tidak mendapat jawaban, dan ini telah panggilan ke sepuluhnya, Asahi mondar-mandir dalam kamarnya, berharap bahwa pria itu akan mengangkatnya.

Mengacak rambutnya asal saat lagi-lagi operator disana yang menjawabnya, Asahi bingung sekali, Jaehyuk tidak menjawab telepon nya kali ini, entah apa yang pria itu sedang ia lakukan di sebrang sana, tapi sungguh, Asahi ingin menangis saat ini juga.

"Kumohon.. untuk yang terakhir kalinya, tolong angkat telepon ku," serunya putus asa, ia yakin bahwa Jaehyuk mencintainya.. namun mengapa pria itu mengabaikan teleponnya.

"srekkk srekkk"

Asahi membolakan matanya, saat telinganya menangkap suara rusuh darisana, ia segera memanggil pria disana.

"Jaehyuk.." serunya pada pria disana, namun tanpa jawaban, pria itu malah balik bertanya dengan suara yang terputus-putus.

"Hal-lo?" seruan dari arah sebrang Asahi tembal dengan segera.

"Jaehyuk, ini aku," jawabnya, sedang lagi-lagi pria disana seolah tak mendengarnya, jantung Asahi sudah berpacu cepat, berharap bahwa pria disana dapat mendengar suaranya.

tuttt

baru hendak berbicara hal lain, telepon sudah terputus dengan sepihak, aishh, Asahi bingung sekali kali ini, kepalanya hendak benar-benar pecah. Ia beralih mengirimkan pesan pada sang kekasih, namun apa yang ia dapati hanyalah sebuah centang satu, Asahi mengusap wajahnya gusar. Sesaat kala pikirannya berlarian untuk menemukan cara, tetesan merah mengucur tiba-tiba mengotori lantai bersih juga mengenai kakinya sendiri.

Asahi terkejut, kali ini kepalanya tampak sangat pening, mengusap hidungnya sendiri yang mengucurkan darah, Asahi belum pernah mimisan sederas ini sebelumnya, meski Asahi sudah mencoba menahan agar darahnya berhenti mengucur, namun ia rasa ini sangat sia-sia, sebab apa yang terjadi selanjutnya membuat Asahi meringis keras kala perutnya terasa begitu keram dan linu.

Asahi memegangi perutnya sendiri, bertumpu pada meja rias dan membiarkan darah dari hidungnya mengucur kian deras, kali ini perutnya terasa sangat sakit seolah teremas kuat.

"Kumohon.. kumohon.." serunya lesu, sebelum hal terakhir yang ia ingat hanyalah rasa sakit juga kegelapan dan benturan keras atas pertemuan tubuhnya dengan dinginnya lantai malam itu.

to be continue

waduhh da ape ni sampe pingsan begituu, mending hubungan die ma jae dilanjut aje apa udahan aje ye, bingung dah gue, hmzz :)

Our FaultTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang