Enam

4.7K 125 24
                                    


"Enggak."

Itu adalah kata-kata sialan yang justru meluncur keluar dari mulutku.

Tino menjauhkan kepalanya dengan alis berkerut. Dia memandangku tak percaya, seolah-olah memastikan aku ini Leo yang selama ini dia kenal, ataukah ini gedebok pisang yang dibuang orang di depan kosan?

"Tumben lu bilang enggak ...," gumam Tino heran.

"Enggak sekarang," kataku memperjelas, sembari aku memaksa berbalik ke belakang, sehingga kami berpelukan depan-depanan. "Enak aja gue biarin personal trainer ganteng kayak lu yang body-nya udah aduhai gini—"

"Lah terus kenapa enggak sekarang?"

"Karena ... karena ...." Aku enggak tahu jawabannya. Aku cuma bisa gelengin kepala. Kami berdua tatap-tatapan kayak di film BL dan aku udah berharap dia nyipok aku dengan romantis atau apa gitu, tapi kami malah saling lihat-lihatan.

"Karena ...?" ulang Tino memancing.

Aku menghela napas dan menggelengkan kepala lagi. "Enggak tahu ...," kataku, setengah merengek sambil tiba-tiba mendekap Tino dengan erat, lalu ndusel-ndusel di lehernya yang beraroma manly.

Aku udah ngaceng, Bro.

Aku pengin di-ewe Tino.

Tapi ada sebagian diriku yang bilang ..., "Enggak."

"Gue serius, anjing," bisik Tino ke telingaku. Satu tangannya mengusap-usap punggungku. "Gue semingguan terakhir marah sama kejadian kemaren. Gue penginnya membumihanguskan LGBT seluruh dunia, gue musnahin sampe punah, tapi ... tapi ...."

"Tapi apa?"

Tino menggosok-gosok dagunya di puncak kepalaku. "Tapi nanti elo ikut musnah juga dan gue enggak mau itu kejadian," bisiknya.

Sumpah, anjir, aku membeku mendengar itu.

Jantungku tuh kayak ditarik keluar, dibikin berdebar-debar, terus perutku mulas.

Untaian kalimat yang dibisikkan Tino barusan membuatku terbang ke awang-awang. Literally. Nyawaku udah enggak ada di body twink yang seksi ini, karena udah terbang ke surga. Udah ikhlas meninggalkan dunia.

Saking nge-fly-nya ..., aku enggak tahu mesti ngerespons apa. Aku cuma diam aja di sana. Terbujur kaku dalam pelukan Tino. Mengendus aroma lehernya yang maskulin, yang bikin kontolku ngaceng dengan romantis.

"Gue benci homo," lanjut Tino, masih dengan suara bass-nya yang romantis. "Tapi gue sayang elo."

Aku menelan ludah. Semakin membenamkan wajahku di leher Tino. "Elo ... elo ... elo cinta gue?"

"Kagak, anjing!" Tino menggeplak kepalaku. "Gue sayang elo sebagai temen."

SETAN!

Udah romantis banget padahal barusan!

"Gue sayang elo karena elo orangnya jujur depan gue," terang Tino, sambil kembali memelukku penuh sayang. "Yang lu lakuin tuh jijay, muja-muja badan gue, tapi seenggaknya elo jujur soal itu. Lu kagak nge-prank gue demi dapatin body gue. Lu jujur soal lu homo. Lu jujur lu suka ama gue. Lu jujur lu pengin ngentotin gue. Tapi lu juga tetep jadi temen gue yang supportif, yang baik, yang nolong gue pas gue butuh, yang ikhlas minjemin mobilnya ke gue, semuanya cuma dibayar pake candaan soal kontol doang. Di mana lagi gue bisa dapat orang kayak gitu, hm?"

"Ngapain juga boong," kataku. "Hidup ini singkat. Kalau gue pengin nyepong kontol Abang, gue enggak perlu fake pura-pura enggak mau. Ya gue bakal bilang—meskipun Abang enggak akan ngasih kontolnya buat gue."

(1) Prank Personal Trainer (Reupload)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang