Dua

9.1K 237 2
                                    


Karena ini kosan sultan, kamar kosannya lumayan besar dibandingkan kosan-kosan pada umumnya. Ada jarak yang cukup di tengah-tengah ruangan untuk meletakkan ponsel dan tripod, memproyeksikan gambar ke tembok dekat meja kerja, dan Tino berdiri di sisi lain ruangan untuk coli.

Aku membantu Tino memasang ponsel itu. Pake tripodku. Lalu dikoneksikan ke proyektor kecil khusus hape. Lalu kusorotkan ke tembok dekat meja. Apa pun yang terjadi di ponsel itu sekarang, kami bisa melihat proyeksinya dalam ukuran 1 x 2 meter. Gede banget, anjir.

Tino berdiri membelakangi jendela kamar kosannya, yang sudah dia tutup dengan tirai rapat-rapat. Aku berbaring di atas tempat tidur Tino, yang kebetulan berada di samping kamera, sehingga aku tidak akan masuk ke dalam layar.

"Oke. Jangan berisik! Jangan ngacauin VCS gue!" ancam Tino sambil memencet tombol panggilan video di chat-nya bersama Lidya.

"Iye. Tapi gue boleh buka celana sekarang, kan? Pengin ngocok."

"Serah elu, anjir!"

Wajah Lidya yang memang supercantik muncul di tembok kamar. Statusnya masih RINGING. Sudah terkoneksi, tapi belum diangkat oleh Lidya. Tino berdiri dengan cemas di depan kamera, masih membalut perutnya dengan handuk. Aku sih sudah melepas celanaku. Sudah pamer kontolku. Dan sudah kukocok pelan-pelan sambil mengamati tubuh indah Tino.

"Halo, Baaang ... udah? Kita lanjut enggak nih?" sapa Lidya tiba-tiba.

"Udah, Dek. Gimana? Udah HD belum gambarnya?" balas Tino.

"Uuuh! Udah! Otot Abang kelihatan jelas."

Aku berhenti ngocok karena terkejut dengan suara itu. Suara Lidya kayak suara waria. Kayak suara Lucinta Luna. Serak-serak berak gitu. Aku berbalik untuk melihat siapa yang ada di layar, ternyata Lidya sudah dalam posisi ngangkang.

Tanpa wajah.

Jadi, Lidya seperti sedang duduk di atas kasur, bugil, membuka lebar-lebar pahanya. Memek berjembut tipis itu tampak berada di tengah-tengah layar. Toket Lidya yang cukup besar bergelayut jatuh ke atas perutnya. Namun, kamera tidak menyorot wajah Lidya. Hanya bagian leher dan dagu saja yang kelihatan. Bibir pun tidak.

Aku setengah enggak percaya cewek di layar itu adalah Lidya. Namun aku tidak berkomentar. Sebab, Tino melorotkan handuknya. Memamerkan kontol ngaceng yang ukurannya lumayan. Tumbuh di atas jembut yang digunting rapi, khas binaragawan yang hobi mencukur rambut-rambut tubuh.

Akhirnya ... ya Tuhan ... bisa melihat Tino bugil tampak depan! Hore!

"Uuugh ... Abang seksi banget. Hmmmph!" desah Lidya.

"Kamu juga, Dek."

Untuk ukuran orang yang tadi cemas tetangga mendengarkan percakapan kami soal pinjam proyektor, Tino tampak biasa-biasa saja suara desahan Lidya di-loudspeak di seantero kamarnya. Tapi aku enggak peduli. Yang kupedulikan adalah kontol Tino dua meter nun jauh di sana.

"Abang flexing, dooong. Aku pengin lihat Abang pamerin otot Abang."

"Boleh."

Tino memamerkan ototnya. Seperti binaragawan. Atau seperti fitness enthusiast yang angkat barbel sepuluh kali, tapi bercermin mengamati ototnya sendiri sepuluh menit. Dimulai dari mengangkat lengan, memamerkan otot bisep dan trisepnya. Lalu dia meletakkan kedua tangan di pinggangnya yang ramping, membusungkan dada. Memamerkan otot dada yang bidang. (Tino juga mengedut-ngedutkan otot dadanya.) Bahkan Tino berbalik untuk memamerkan otot sayap, bahu, dan punggungnya.

Aku semakin sange melihatnya. Fetish-ku adalah melihat cowok kekar pamer otot, sambil bugil, sambil kontolnya ngaceng.

"Uuuh, gede banget!" ungkap Lidya. Kulihat Lidya asyik mencolok-colok memeknya dengan telunjuk dan jari tengah.

(1) Prank Personal Trainer (Reupload)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang