Delapan

3.7K 131 41
                                    


"Pertama," kata Edvan, "gue minta tolong elo cek ... si Romi ... ada di kamarnya, atau enggak."

"Why?"

Edvan mengangkat bahu. Tapi kemudian mengaduh, "Aduh, aduh, aduh, aw, aw, aw!" Kayaknya bahu Edvan dislokasi. Dia meringis kesakitan selama beberapa saat, matanya terpejam kuat, napasnya ngos-ngosan, kemudian dia kembali ke telepon. "Sorry."

"Buat apa gue ngecek Romi ada di kamarnya apa enggak?"

"Please ... just ... just do it," katanya, terengah-engah. "Pastikan dia selamat. Enggak ... enggak dalam bahaya."

Bukannya kalau Romi dalam bahaya lebih bagus, ya? Dunia lebih aman sejahtera?

Aku bangkit dan keluar dari kamar. Kusambar earphone di atas meja sambil berjalan, lalu kuganti suara video call itu supaya lebih private. Kukenakan sandal, kemudian aku berjalan lurus di lorong lantai dua yang sepi. Pintu kamar Romi tertutup. Jadi kuketuk, tok-tok-tok! "Rooommm ...?"

"Jangan dipanggil!" sahut Edvan tiba-tiba. Dengan panik dia menghindar dari kamera telepon.

"Kenapa?"

"Kan udah gue bilang, jangan sampai dia tahu!" bisik Edvan. "Cek aja kamarnya diam-diam."

Oh iya. Aku lupa ada satu quest soal merahasiakan semua ini dari Romi.

Aku berdiri membeku di depan kamar itu, tak mendapatkan jawaban apa pun dari dalam. Kutempelkan telingaku ke daun pintu, mencoba mendengar suara apa pun dari dalamnya. Suara Tiktok, suara Romi mandi, makan, bernyanyi, coli, nonton bokep, atau apa pun. Tapi aku enggak dengar apa-apa.

Aku buka pintu kamarnya, enggak terkunci.

Damn.

Dia sengaja enggak ngunci kamar biar gampang diperkosa orang, ya?

"Ada?" tanya Edvan, agak berbisik.

"Enggak tahu. Lampu kamarnya sih nyala." Aku melongokkan kepala ke dalam kamar. Pelan-pelan kupanggil, "Rom?"

Enggak ada jawaban. Kulongokkan kepala lebih dalam, sampai-sampai setengah badanku masuk. Enggak ada tanda-tanda Romi di dalam kamar itu. Bahkan pintu kamar mandi juga terbuka lebar, lampunya padam, tak ada aktivitas apa pun di sana.

Akhirnya aku memberanikan diri masuk ke dalam kamar Romi. Aku memeriksa setiap sudut kamar mencari keberadaan banci desperate itu. Aku menyebut dia desperate karena Romi betulan bisa ngewe dengan siapa pun, tanpa terkecuali. Aku aja pernah di-sepong sama dia di sini, padahal kami sama-sama boti. Gila enggak, tuh?

"Enggak ada," kataku, setelah memastikan tak ada manusia apa pun di kamar ini selain aku.

"Coba kamar gue," kata Edvan. "Mungkin dia ada di sana."

"Agak mencurigakan ya dia masuk kamar elo. Ngapain emangnya dia di sana?"

"Nyiumin sempak gue biasanya."

"Oh."

Kok enggak mengejutkan ya kalau alasannya itu? Aku bisa membayangkan Romi masuk kamar orang-orang dan mengendus-endus sempak yang sudah dipakai para penghuni kosan di sini.

Aku berjalan lagi keluar kamar Romi, pindah ke kamar Edvan. "Dikunci enggak?"

"Enggak," jawab Edvan.

Kubuka pintu kamar Edvan pelan-pelan, lalu kulongokkan kepala ke dalamnya. Lampu kamar menyala. AC juga menyala. Dan di atas kasur ....

... ada Romi sedang tertidur lelap.

(1) Prank Personal Trainer (Reupload)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang