Sembilan

3.4K 151 30
                                    


Jujur, Bro .... Aku enggak sependapat. Menurutku si Edvan itu lebai. Tino orang yang baik dan akan selalu baik. Dia enggak punya trauma masa lalu yang bikin dia perlu "bunuh orang", atau logika bahwa "saking baiknya" maka kalau ada yang ganggu maka dia akan bikin pembunuhan berencana.

Tino baik dan akan selalu baik. Titik.

Orang kalau memang baik, ya enggak akan bunuh orang, anjir. Analoginya gimana? Sepanjang empat tahun aku kenal Tino, dia adalah orang yang pure baik, yang enggak pernah punya intensi jahat sama siapa pun.

COME ON! You read it yourself! Mau VCS pake gambar HD aja, dia PINJAM proyektor dan IKHLAS body telanjangnya dilecehkan sama homo, ketika dia bisa aja berbuat jahat dengan cara nge-bully aku yang jelas-jelas homo, lalu proyektor itu dia ambil secara paksa. Nope. Tino meminta konsenku. Tino melakukan nego. Tino sering bercanda ekstrem denganku, tapi intinya dia bersikap sopan. Dan dia enggak pernah ngerugiin aku sekali pun!

Ya, kecuali aku jadi sering coli sambil bayangin dia, yang artinya aku buang-buang sperma. Tapi intinya dia orang baik dengan hati murni seperti teh Sariwangi dan enggak mungkin dia melakukan pembunuhan pada Lidya si bencong itu.

Lebih masuk akal diriku yang melakukan pembunuhan ke Lidya. Tentu setelah aku meng-copy hard drive-nya yang mungkin berisi ratusan video prank ke straight-straight lokal.

Aku mengabaikan kata-kata Edvan di rumah sakit karena Tino muncul dengan segera menghampiri kami seakan-akan khawatir aku sedang di-ebol brutal oleh korban begal yang sebadan-badan penuh luka ini. Tino melompat menghampiriku, agak ngos-ngosan, lalu mengangguk dengan canggung saat melihatku masih dalam posisi yang sama.

Dia menelan ludah. "U ... udah."

"Thanks, Bro!" Edvan mengangkat tangannya untuk menjabat tangan ala bro ke bro, Tino membalasnya dengan canggung. "Oke ..., now listen to me. Ini lokasi pembegalannya ...."

Malam itu, aku dan Tino melenggang dari RSUD Tarakan menuju area Mangga Besar, tepatnya ke titik di mana Edvan dibegal. Edvan memberitahukan detailnya dengan spesifik. Lokasinya di sebuah kosan, masuk ke dalam gang, dan ada area kecil yang gelap gitu di pojokan, di mana dia menghajar ketiga begal hingga babak belur.

Aku sudah membuka mulut untuk bertanya, "Elo lagi mau ke mana anjir, kenapa ended up dibegal di tempat yang secara spesifik bukan jalur yang dilewati orang-orang?" Tapi kuputuskan untuk enggak mengatakannya, dan memilih menyelesaikan saja misinya.

Sekarang, aku sudah menyetir memasuki gang kecil menuju kosan yang dimaksud Edvan. Agak susah masuk, karena banyak orang berkumpul di dalam gang itu. Jadi aku terpaksa parkir agak jauh dari lokasi kejadian, tepat di belakang sebuah ATM BCA. Kumatikan mesin mobil.

"Kita harus jalan kaki ke sana," gumamku.

Tino hanya memandang ke luar jendela, ke kerumunan warga sekitar yang entah mengapa berdiri bertebaran di sana sini bagaikan sperma yang nyembur ke sana kemari setelah ejakulasi. Tangan Tino bergetar. Dia seperti ketakutan.

"Gue mau jalan ke sana," umumku, sambil membuka sabuk pengaman.

Tino masih belum meresponsku. Dia juga masih mengenakan sabuk pengamannya. Waktu aku menoleh dan mengamatinya, Tino beneran ngerasa ngeri. Tumitnya mengentak-entak lantai mobil. Tangannya sedikit gemetar. Seakan-akan, "begal" memberikan trauma sendiri kepada Tino.

Sebagai calon suami boti yang supportif, aku enggak banyak tanya. Aku juga enggak nge-judge dia lemah atau pecundang. Mungkin memang ada trauma masa lalu yang bikin Tino ketakutan. Di tengah situasi dia sedang depresi pengin bunuh diri gara-gara di-prank bencong, sumpah, aku enggak akan mempertanyakan atau menggoda Tino soal itu.

(1) Prank Personal Trainer (Reupload)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang