19

345 22 10
                                    

Matahari pagi sudah mulai nampak keberadaban, dan Donghyuck enggan untuk mengalihkan perhatiannya dari sang Surya yang menyinari perjalanan pulang mereka.

Pandangannya kosong, ia merasa hampa meskipun tadi terlihat sudah rela. Dia tahu jika hidup harus terus berjalan, seharusnya dia mampu menjalani hidupnya seperti saat sebelum mengenal sosok Sersan Mark. Tapi kenapa dia merasa bingung tentang apa yang akan dia lakukan jika tidak ada Sersan Mark setelah ini?

Sesekali Jeno hanya memperhatikan sang Letnan yang hanya terdiam. Raga didepannya seperti tidak memiliki nyawa didalamnya. Dia pun sama juga merasa kehilangan. Akan tetapi apa boleh buat, gugur dalam medan perang adalah salah satu resiko seorang anggota militer. Mau tidak mau, rela tidak rela, ia diharuskan merelakan jika memang ada salah satu anggota yang gugur - sudah merupakan keharusan.

Begitu helikopter mendarat, tim medis telah disiapkan untuk mengobati anggota tim Phoenix yang telah tiba. Tidak ada yang memberi pertanyaan setelah Jeno mewakili sang Letnan untuk memberi laporan jika salah satu anggota mereka gugur. Terlebih sangat jelas sekali suasana berduka yang terlihat dari raut masing-masing anggota.


****

Akhir sebuah cerita, beserta sepenggal kenangan yang hanya terekam dalam sebuah ingatan. Dan satu-satunya potret yang pernah ada.

Dua minggu sudah dia kembali ke negara asalnya, dua minggu sudah dia mendapat perawatan di rumah sakit, dua minggu sudah dia melewati hari-harinya setelah mengalami mimpi buruk pada misi perdamaian yang ditugaskan untuknya.

Namun, dua minggu tidaklah cukup baginya untuk melupakan kejadian itu. Dua minggu tidaklah cukup baginya untuk menghapus memori yang pernah dia lakukan dengan orang itu. Dua minggu tidaklah cukup baginya untuk melupakan orang yang telah berhasil meluluhkan hatinya yang sekeras batu. Bahkan orang itu berhasil mencuri kunci hatinya, dan kini kunci itu ikut menghilang bersama raga lelaki yang berhasil mengikatnya dengan kehangatan cinta.

Dua minggu ia habiskan hanya didalam ruang perawatan tanpa tahu apa yang akan dia lakukan selanjutnya. Membiarkan semuanya berjalan sebagaimana mestinya.

Katanya waktu akan membuatnya terbiasa, tapi sampai kapan dia harus menunggu waktu itu tiba? Waktu yang membuatnya terbiasa tanpa keberadaan Sersan Mark di sisinya - sampai kapan dia harus menunggu?.

"Nak, eomma tutup jendelanya ya, sudah hampir gelap?"

Hanya sejenak ia mengalihkan perhatiannya pada perempuan yang mengajaknya bicara. Seperti hari-hari sebelumnya, setiap sore ia habiskan untuk menatap matahari senja dari ruangan tempatnya mendapat perawatan hanya untuk sekedar merasakan kehangatan sinar senja menyentuh kulitnya.

"Tunggu sampai gelap sekalian, eomma" lirihnya kembali menatap matahari yang semakin tenggelam di ufuk barat.

"Udaranya semakin dingin, Hyuckie," perempuan itu kembali memberi pengertian. Suaranya dibuat dengan sehalus dan selembut mungkin.

"Tidak apa-apa, eomma" ucapnya kembali tanpa mengalihkan pandangannya lagi. Seolah matanya hanya terpaku pada sang senja yang semakin bersembunyi dari dunia.

Perempuan itu - Eomma Donghyuck - menghela nafasnya. Sejak kepulangan putranya dari misi perdamaian di negeri Yaman, putra semata wayangnya seolah bukan putra yang pernah dia rawat dari kecil. Terdapat perubahan signifikan dari putra kecilnya yang lama sekali tidak ia perhatikan. Dan dia tahu penyebab pastinya.

Perempuan itu mendekati posisi sang putra yang duduk di ranjang sembari menatap lurus ke matahari yang nyaris tenggelam sepenuhnya. Ia duduk di kursi yang tersedia, tangannya meraih kedua tangan putranya yang mana salah satunya terpasang infus. Ia melapisi tangan pucat putranya dengan tangannya, memberi usapan-usapan lembut serta sesekali memberi kecupan pada tangan putranya, lalu tersenyum sendu melihat keadaan putranya.

Two Suns || Markhyuck || [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang