Chapter I : Khanzab

290 15 3
                                    

Di tengah malam yang sunyi, aku merasakan panggilan yang tak bisa diabaikan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Di tengah malam yang sunyi, aku merasakan panggilan yang tak bisa diabaikan. Heningnya kegelapan seakan menyisakan satu suara, suara dari lubuk hati yang meminta untuk bangun dari tidur lelap. Dengan langkah yang hati-hati, aku menemui tempat sujudku, menyiapkan diri untuk meresapi keindahan salat tahajud.

Saat aku duduk sejenak di kasur, keheningan malam memberikan tempat bagi doa-doa yang terpendam. Bintang-bintang di langit menjadi saksi bisu dari perjumpaan malam ini. Aku berniat merapal ayat-ayat suci dan membuka hati sepenuhnya, merenung pada setiap rukun dan sujud sebagai bentuk penghambaan yang tulus.

Aku mulai berdiri dan berjalan meninggalkan kamar. Cahaya lampu kecil menyinari langkah-langkahku, dan aku sampai di tempat wudhu untuk menyucikan diri. Tahajud bagiku bukan hanya ritual malam, tapi saat untuk bercakap-cakap dengan Sang Pencipta, meluapkan segala rasa di dalam hati yang tak terungkapkan di siang hari.

Saat berdiri menghadap sajadah, aku merasakan kedekatan yang begitu intim. Hatiku meresapi kasih sayang-Nya yang begitu melimpah, dan aku merasa menjadi hamba yang lemah di hadapan keagungan-Nya. Meski lelah menyeruak dalam tubuh, semangat untuk meraih keberkahan melalui tahajud tetap menyala, memandu langkahku di malam-malam gelap.

"Allahu Akbar!" ucapku memulai rakaat pertama.

Saat aku mulai membaca ayat-ayat suci Al-Qur'an, detik-detik kesunyian malam semakin terasa. Suara merdu ayat-ayat yang keluar dari bibirku seakan menyatu dengan ketenangan malam. Setiap kata yang terucap mengalir begitu indah dan membentuk melodi yang menenangkan hati.

Puk!

Terdengar suara sebuah tangan menepuk bahuku dari belakang. Mataku yang semula fokus terbelalak merasakan tepukan tangan itu, seakan ada yang ingin menjadi makmum di tengah khusyuknya malam penuh kasih ini. Aku mulai gemetar dan berkeringat dingin. Bukan apa-apa, masalahnya adalah aku tinggal sendiri di rumah ini. Siapa yang mau jadi makmumku?

Sontak aku menenangkan diri dan kembali untuk mendekatkan diri kepada Sang Ilahi. Aku berserah dan berpasrah diri karena kepadanya lah aku mengabdi. Apapun yang terjadi aku tidak peduli, aku mulai melantunkan ayat-ayat suci dengan suara yang keras dan tinggi. Seolah sedang menjadi imam salat walau aku tidak tahu siapa makmumnya.

"Gairil-magdubi 'alaihim wa lad-dallin."

"AAAAMIIIIN!"

"Hah?" Aku tersentak kaget. Di tengah sunyi dan gelapnya kamarku, aku terdiam sejenak. Kakiku lemas, jantungku berdegup kencang. Terdengar suara menggema dari belakangku. Berucap 'Aamiin' dengan keras dan jumlah suaranya lebih dari satu orang. Ketakutan kian menyelimutiku. Aku pun menutup mata, aku ingatkan kembali diri ini dengan tujuan awalku yaitu untuk beribadah kepada Allah. Maka sebagai hambanya aku akan berserah kepadanya.

Aku melanjutkan bacaan dengan surat pendek. Mataku terpejam, fokusku hanya kepada salat. Hamba Allah bukan hanya dari kalangan manusia, tapi juga jin. Jadi tak ada salahnya jika mereka ikut beribadah kepadanya. Salat ini kulanjut sampai rukuk hingga sujud.

"Astaghfirullah," ucapku yang mendadak ishtigfar di saat membaca doa salat.

Bagaimana tidak? Aku merasakan jari-jari kasar menggelitiki telapak kakiku saat sujud. "Allahu Akbar."

"Sami Allahu liman hamidah," ucap mereka yang di belakangku.

Mereka seakan ingin mengecoh salatku dengan bacaan-bacaan mereka yang keliru. Aku kembali berdiri untuk rakaat kedua. Dengan lantang aku kembali membaca Al-Fatihah dengan penuh kekhusyukan. Dalam pikirku, aku hanya berharap perlindungan dari yang Maha Kuasa. Yang Maha Melindungi.

"Uhuk! Uhuk!" Suara batuk terdengar dari belakang. Karena kaget, aku pun tak sengaja menghentikan ayat-ayat suci yang sedang kulantunkan.

"Ashtagfirullah!" Sekujur badanku merinding dan gemetar. Napasku mulai memburu dan jantungku berdegup kencang. Saat hendak melanjutkan bacaan, mendadak aku lupa. Sampai ayat yang mana. Aku semakin takut, lidahku seakan sulit sekali untuk melantunkan ayat-ayat Allah. Aku tak bisa mengucapkan satu ayat pun. Sementara di belakangku, suara-suara aneh terus bermunculan.

"Qul a'uzu birabbin naas!"

Mendadak terdengar suara seseorang membacakan surat An-Nas di belakangku. Suaranya terdengar begitu berat dan serak. Sangat menakutkan. Kini, mulutku yang seakan lumpuh merapal ayat-ayat suci kini digantikan oleh sosok misterius di belakangku yang malah membaca surat berbeda. Benar, jin-jin ini datang bukan untuk beribadah kepada Allah. Melainkan untuk menganggu momen ibadahku kepada Allah. Maka celakalah mereka!

"A'uudzubillaahi minasy syaithaanir rajiim!' ucapku membaca Ta'awudz kemudian meniup udara dengan sedikit air liur ke arah samping kiri.

Dari yang aku pelajari. Ini merupakan cara yang harus diamalkan saat merasakan kehadiran Khanzab, jin yang mengganggu kita saat salat. Membuat kita lupa dengan rakaat dan lupa dengan ayat Allah. Aku menarik napas panjang. Suara-suara di belakangku mulai memudar hingga akhirnya menghilang. Aku memulai ulang semua bacaanku dari awal. Dan dengan pertolongan Allah, aku dapat menyelesaikan surat Al-Fatihah dan lanjut ke rukuk.

Dalam sujudku, aku merasakan kedamaian yang begitu syahdu. Rasa syukurku terus meluap karena bisa beribadah di saat orang lain terlelap. Dalam keheningan, aku merenung pada setiap ayat yang terucap. Suara langit yang tenang dan bintang-bintang yang bersinar seolah-olah turut meramaikan dialog hatiku dengan Allah. Aku membuka isi hatiku, menceritakan segala yang sulit kudendangkan di siang hari. Salat tahajud bagiku bukan hanya sebatas gerakan fisik, tapi dialog batin yang tulus dan intim.

"Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh," ucapku sambil menengok ke kanan dan kiri saat selesai salat.

Aku menadahkan tangan hendak mulai berdoa. Tapi doaku tertunda saat aku merasakan sebuah jari mencolek kakiku. Aku kembali terperanjat, mataku terbelalak merasakan sentuhan jari yang tidak ku kenal itu. Ternyata gangguan dari bangsa jin belum juga usai. Seakan mereka ingin bersalaman denganku setelah selesai salat.

Mataku sedikit melirik ke arah kiri bawah. Aku semakin ketakutan bahkan ingin menangis saat melihat sebuah tangan dengan kulit kasar dan berwarna abu-abu tengah menyodor ke arahku meminta untuk bersalaman. Tak hanya itu, kuku-kukunya juga panjang dan tajam. Aku berusaha menenangkan diri, aku terus menyebut dan mengingat Allah sebagai satu-satunya pelindungku dari jin dan syaitan.

"Bersujudlah kepada Allah, alih-alih mengganggu ibadah umatnya," ucapku kepada mereka.

Namun tangan itu masih tetap ada di samping kiriku. Aku tidak akan takut apalagi kalah dengan mereka. Dengan mengucap 'Bismillah,' aku kemudian menerima jabatan tangan dari makhluk di belakangku tanpa melihat wujud mereka. Tangannya yang kasar mencengkeram erat tanganku. Beberapa detik kita bersalaman, makhluk itu masih memegang tanganku seakan tidak mau melepaskannya. Aku menarik tanganku dan berusaha agar lepas.

Nahasnya, makhluk itu justru menarik dengan kuat tanganku. Membuat badanku sedikit terpelanting ke belakang dan wajahku lalu mengadap ke arah mereka. Mataku melihat banyak sosok jin yang sedang duduk bersila di belakangku. Wajahnya begitu buruk rupa dan menyeramkan, kepalanya botak dan berpakaian sehelai kain putih yang lusuh dan kotor. Tatapan mata mereka yang menyala mengarah tajam kepadaku. Mulut mereka menyeringai menampilkan barisan gigi runcing dengan air liur kuning mengalir keluar.

"Astaghfirullah!" Aku berteriak sekeras mungkin lalu terjatuh ke lantai dan tak sadarkan diri.

***

Nantikan cerita-cerita menyeramkan lainnya di chapter terbaru!

Jagad Mistis Nusantara Vol. 2, dibaca menyeramkan, tidak dibaca penasaran.

Nantikan update-nya!

Jagad Mistis Nusantara Vol. 2 (Kumpulan Cerita Horor)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang