Chapter X : Setan Tongkrongan

93 9 0
                                    

"Kalo nongkrong, jangan pulang duluanlah!" Kalimat itu merupakan kalimat yang sering kali dikatakan oleh Bang Bojes.

Bang Bojes merupakan "abang-abangan" kami di tongkrongan. Selama satu tahun lamanya, kami selalu nongkrong bareng di warung depan samping sekolah. Tidak benar-benar di samping sih, agak tertutup beberapa rumah warga. Kami selalu nongkrong sepulang sekolah bahkan saat liburan pun, kami selalu menyempatkan waktu untuk berkumpul. Pada saat aku masuk SMK, Bang Bojes sudah kelas 11 dan salah satu senior yang paling sangar dan tegas di angkatannya.

Satu hal yang paling aku ingat darinya adalah: "Jangan pulang duluan kalo nongkrong, barengin sama temen-temen lu." Kalimat Bang Bojes itulah yang kadang mengurungkan niatku untuk pulang duluan.

Aku dan teman-teman seangkatanku sempat ditatar olehnya selama beberapa bulan. Tapi itu hanya sementara, setelahnya Bang Bojes dan senior lainnya menganggap kami sebagai teman. Sayang, di Februari 2016 Bang Bojes mengembuskan napas terakhirnya. Ia menjadi korban saat sekolah kami bentrok dengan sekolah lain. Padahal saat itu Bang Bojes sebentar lagi melaksanakan ujian nasional dan lulus.

Bang Bojes meninggal mengenaskan. Wajahnya bisa dibilang terbelah usai terkena bacokan celurit. Hal ini sempat menjadi kesedihan serta dendam yang mendalam bagi aku dan anak-anak lainnya. Tapi sampai saat ini, kami belum memiliki momen yang tepat untuk menyerang sekolah lawan kami.

Suatu malam, seperti biasa aku dan teman-teman berkumpul di warung biasa. Kami makan banyak cemilan dan minuman sambil duduk beralaskan tikar di depan warung. Asap rokok seperti biasa mengepul di sekitar kami. Ada yang bermain gitar, ada yang main game online, ada juga yang mengobrol. Aku duduk di bangku panjang sambil merokok dan mendengar musik.

"Riyan," panggil Bu Retno, pemilik warung yang sudah sangat dekat dan mengenal kita semua.

"Iya, Bu?" Aku menoleh ke belakang.

"Lu gak pada buat doa bersama atau ngaji buat Abang lu si Bojes?" tanya Bu Retno. "Daripada lu kumpul-kumpul gini aja, mending sekalian kirim doa deh. Belum 7 hari juga, kan?" tambahnya.

Aku hanya mengangguk pelan. "Nanti Riyan atur deh, kemarin pas di makamnya juga kita udah doa bareng kok," jawabku.

Tak lama berselang. Aku mulai bosan di tongkrongan. Jam sudah menunjukkan pukul 23:20 malam. Aku menghabiskan segelas kopiku dan membayar ke Bu Retno. Jaket parasut yang tergantung di tembok kuambil dan kupakai sambil berjalan mendekati teman-teman. Mereka yang sedang asik dengan kegiatannya masing-masing sontak menoleh ke arahku yang sudah siap memakai jaket.

"Lah? Lu mau ke mana, Yan?" tanya Andi salah satu teman seangkatanku.

"Mau balik gue," jawabku.

"Yah, masa balik? Baru jam berapa?" Andi lalu menoleh ke Bang Iwan anak kelas 12 yang sedang duduk sambil bermain game online dengan anak-anak kelas 10. "Bang, masa si Riyan mau balik," kata Andi mengadu ke Bang Iwan.

"Oh, balik lu, Yan? Yaudah hati-hati!" Tampaknya Bang Iwan tidak peduli dan lebih fokus pada game-nya.

"Oke, gue duluan ya!" ucapku.

"Yah, masa balik duluan sih? Gak bareng-bareng nih kita?" Andi masih belum rela aku pulang.

"Engga, Di. Ngantuk gue," jawabku.

"Gini nih kalo tongkrongan gak ada Bang Bojes. Seenaknya aja pada pulang, kalau Bang Bojes masih ada mah gak bakal dibolehin pulang lu," kata Andi.

Aku kemudian mengeluarkan motorku dari parkiran warung. Setelah itu naik dan menyalakannya. Setelah pamit, aku mulai memacu kendaraan roda duaku melewati jalanan yang sudah gelap. Suasana pun sudah sepi. Angin malam bertiup kencang. Beruntung jaket parasutku bisa menghalau hawa dinginnya masuk.

Selama perjalanan, sebenarnya aku tidak merasakan keanehan apa-apa. Tapi memang motorku agak sedikit berat, seolah ada penumpang di belakangku. Bagian punggung belakangku juga terasa panas. Aku iseng melihat ke spion. Seketika aku kaget saat melihat ada seseorang berpakaian seragam putih dengan bercak-bercak darah sedang duduk di jok belakang motorku. Sontak aku mengerem mendadak.

Setelah motor berhenti, aku langsung turun dan motorku kubanting begitu saja ke tanah. "Siapa?!" tanyaku sambil berdiri menjauh dari motor. Tapi tidak ada siapa-siapa di sana. Aku mulai merinding dan ketakutan. Tapi pikirku, mungkin aku yang salah lihat karena mengantuk. Tak mau menemui hal aneh lagi, aku lalu segera kembali naik motor dan mempercepat laju menuju rumah walau motor masih terasa berat.

Sesampainya di rumah, aku memasukkan motor. Setelahnya mencuci kaki dan muka sebelum tidur. Seisi rumah sudah gelap. Ayah, ibu serta adikku semuanya sudah terlelap di kamarnya masing-masing. Aku masuk ke kamarku yang masih terang. Anehnya, aku mencium aroma amis di dalam kamarku. Sehingga aku memutuskan untuk menyemprot pengharum ruangan.

Tapi tidak berhasil. Wangi pengharum ruangan memang tercium, tapi bau amis itu juga tidak hilang. Jadi ada dua aroma di kamarku saat ini. Tidak mau ambil pusing, aku pun rebahan di kasur dan memejamkan mata. Lampu pun sudah kumatikan. Sialnya, aroma amis itu malah semakin santer tercium. Bahkan lebih gila lagi, seolah bau amis itu benar-benar ada di depan hidungku.

"Lu ngapain balik duluan bego?" bisik seseorang dengan suara serak di telingaku. Aku pun membuka mata karena kaget. Napasku terengah-engah.

Aku berbalik badan dan menatap seisi kamarku. Rasa takut semakin menyelimutiku kala aku melihat ada siluet seseorang sedang berdiri di tengah kegelapan kamarku. Sosok tak dikenal itu menghadap ke arahku. Tapi aku tidak bisa melihatnya dengan jelas karena gelap.

"Ngapain lu pulang duluan?" tanya suara misterius itu. "Lu gak hormatin gua?"

"Siapa? Siapa?" ucapku yang mulai ketakutan. Aku meraih tombol dan menyalakan lampu. Saat lampu menyala, sosok itu menghilang. "Gak ada siapa-siapa?" gumamku sambil berkeringat dingin.

Tapi saat kumatikan lampu lagi, sosok siluet hitam itu kembali muncul bahkan kali ini lebih dekat. Bau amis juga semakin menyengat. Ingin muntah rasanya. Karena ketakutan, aku langsung melompat ke kasur dan meringkuk. Menutupi wajahku dengan bantal dan buru-buru tidur. Tapi sayangnya, rasa ngantuk yang tadi aku rasakan kini menghilang.

Tiba-tiba, tercium bau rokok memenuhi seisi kamarku. Saat aku membuka mata dan mengintip ke langit-langit kamar, ada asap rokok melayang-layang. Entah rokok siapa, tapi dari aromanya ini seperti rokok yang biasa dihisap Bang Bojes.

"Enak lu pulang duluan? Lu tinggalin temen-temen lu? Lu gak hormatin gua, Yan!" ucap seseorang dari arah meja belajar.

Aku lalu memberanikan diri melihat ada apa di meja belajar. Saat kulihat, ternyata ada sosok Almarhum Bang Bojes di sana sedang duduk santai. Di tangannya ada sebatang rokok yang menyala. Ia memakai baju seragam penuh darah seperti pada saat meninggal. Kondisi wajahnya rusak parah, sudah tidak karuan akibat sabetan celurit. Mulutnya mengaga dan rahangnya bergelantung. Matanya melotot ke arahku seperti marah. Kondisinya persis seperti saat dia tewas.

"Aaaaaaa!!!" teriakku ketakutan.

"Kenapa lu pulang duluan, Yan?" tanya Bang Bojes.

Aku menutupi wajahku dengan bantal dan menangis ketakutan.

"Kenapa pulang duluan, Yan?"

"Kenapa pulang duluan, Yan?"

"Kenapa pulang duluan, Yan?"

Suara Bang Bojes terus terdengar menggema di kamarku. Sangat menakutkan untuk dibayangkan, suaranya serak dan terkesan marah padaku. Bau asap rokok dan bau amis darah memenuhi seisi kamar. Aku smepat mengintip dari balik kasur. Sosok arwah Bang Bojes masih duduk di sana menghadap ke arahku. Satu hal yang aku inginkan saat itu, Tidur.

Dan rupanya Tuhan masih sayang denganku. Aku pun tidak sadarkan diri, entah pingsan atau ketiduran. Yang jelas aku bangun pada pagi harinya dengan wajah pucat, badan gemetar dan keringat dingin. Karena saat bangun aku langsung teringat dengan apa yang terjadi. Ya, malam itu nyata. Mengingatnya hanya akan membuatku ketakutan.

Aku tidak cerita ke keluargaku. Bahkan teman di tongkrongan pun aku hanya cerita ke satu orang yang kupercaya dan meminta supaya tidak disebarkan. Setelahnya, aku tidak berani lagi pulang duluan. Aku selalu pulang bersama yang lainnya. Dan sesuai saran Bu Retno, kami juga mengadakan doa bersama untuk mendoakan Bang Bojes. Setelahnya, aku tidak berani lagi pulang duluan.

Tamat

Jagad Mistis Nusantara Vol. 2 (Kumpulan Cerita Horor)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang