Chapter VII : Pengajian Bersama Setan

108 10 0
                                    

"Mama! Mama!" teriakku sambil masuk ke dalam rumah.

Aku berlari masuk dan melihat sekitar. Mamaku datang dari lantai atas dan menghampiriku. "Ada apa, Ridho?" tanyanya.

"Kakek kayanya mau apa gitu," ucapku sambil menunjuk ke arah pelataran rumah di luar.

"Yaudah, ayo kita liat ya." Mama lalu berjalan ke luar rumah dan aku mengikuti di belakang.

Aku masih berusia 10 tahun ketika kakekku sedang di masa-masa tuanya. Usianya sudah menginjak 96 tahun. Ia terlihat sangat lemah dan tak berdaya. Bicara sudah tidak lancar, ngawur dan tidak jelas. Kakek juga sudah pikun. Dia tidak bisa melakukan apa-apa selain duduk di kursi depan rumah. Semua kebutuhannya dibantu oleh Mama dan Papaku.

Aku dan Mama sampai di sana. Kakek sedang duduk bersandar dengan kaos putih polosnya. Badannya sudah kurus, bak tulang berbalut dengan kulit keriput. Matanya menatap kosong ke depan. Giginya sudah habis. Mama mendekat ke telinga kakek untuk bicara supaya kakek bisa mendengar.

"Butuh apa, Kek?" tanya Mama.

"Hah?" Kakek tidak mendengar.

"Kakek mau apaa?" tanya Mamaku sekali lagi.

Kakek sempat terdiam sesaat. Ada jeda beberap detik sebelum akhirnya Kakek menjawab.

"Saya mau mati," ucap Kakek dengan santainya.

Mendengar itu aku dan Mama kaget. Aku tak tahu harus bereaksi gimana, tapi setelah mendengar jawaban kakek aku diminta masuk oleh Mama. Sedangkan mama tetap bersama kakek di depan. Entah apa yang dibicarakan. Padahal kakek ini sehat-sehat saja walaupun secara fisik sudah tidak apa-apa lagi. Tapi mengapa malah berharap mati?

Dua hari kemudian, apa yang diomong oleh kakek benar-benar terjadi. Kakek meninggal. Sayangnya, di usianya yang sudah sepuh kakek malah meninggal dengan carayang tak wajar. Kakek ditemukan gantung diri di kamarnya. Mama menemukan kakek sudah kaku menggantung dengan wajah membiru dan lidah menjulur. Semua orang termasuk aku, Mama dan Papa kebingungan. Kakek untuk berdiri saja tidak bisa, bagaimana mau memasang tali gantungan di langit-langit kamar?

Usai kematian kakekku, banyak desas-desus dari warga yang menyebut kalau kakekku dulunya mempelajari ilmu hitam, memakai susuk dan memelihara makhluk halus. Makanya hal itu yang membuatnya bisa tahan hidup sampai usia 96 tahun. Tapi aku tidak peduli, aku hanya perlu fokus menyaksikan tiap prosesi pemakaman dari kakek.

Rumahku menjadi ramai oleh anak-anak kakek. Karena kakek sendiri memang memiliki banyak anak dan cucu. Hal ini karena kakek memang gemar menikah, sampai akhir usianya kakek sudah memiliki 6 orang istri. Dua orang bercerai, dan empat orang semuanya sudah meninggal termasuk nenek kandungku. Jadi tak heran anak-anak dan cucunya ada di berbagai tempat.

***

Di malam pertama, seperti layaknya orang baru meninggal pastinya ada tradisi tahlilan selepas salat Isya. Kakekku pun sama, kami mengadakan tahlilan usai Kakek meninggal. Sayangnya tahlilan ini tidak berlangsung lama karena suatu kejadian tak terduga terjadi.

Aku fokus membaca surat Yasin di samping Papaku. Posisi kami mengadakan tahlilan di ruang tamu. Di samping ruang tamu ada sebuah tangga menuju lantai atas, di samping tangga itulah ada kamar kakek. Konsentrasiku buyar saat aku mendengar sesautu dari kamar kakek. Suara orang bersiul terdengar dari sana. Dan tampaknya bukan hanya aku yang mendengarnya, melainkan banyak orang lain yang ikut mendengar dan melirik ke arah kamar kakek.

Krek!

Papaku kaget saat tiba-tiba gagang pintu kamar kakek bergerak. Tampak ada seseorang yang hendak membukanya dari dalam. Padahal Papa yakin tidak ada orang di sana. Aku pun sama bingungnya. Jantungku bahkan berdebar cepat saat pintu itu perlahan terbuka. Jamaah lain yang hadir di tahlilan kakek belum menyadari soal pintu itu. Hanya aku dan Papa yang terus menatap pintu itu.

Jagad Mistis Nusantara Vol. 2 (Kumpulan Cerita Horor)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang