Seperti yang sudah dijadwalkan sebelumnya, saat ini gue sedang menunggu si calon pacar di depan gerbang sekolah bersama Caramel. Gawat nih kalau sampai Caramel tau gue sama si jamet mau ngedate.
"Itu, lo ... kenapa gak pulang duluan aja?" kata gue sebagai pengalihan ke Caramel.
"Atuh da kamu teh enggak lihat, Shan, angkotnya aja belum datang. Gimana atuh aku mau pulangnya?"
Gue melirik ke arah kanan dan kiri, bener juga. Tapi masa gue biarin dia di sini sampai si jamet jemput sih?
Gak lama dari itu, gue mendengar seseorang manggil nama gue dengan intonasi kencang. Ini gak mungkin Galen, karena arah suaranya dari luar sekolah.
"Neng Shana?!!! Punten nya neng (maaf ya neng) bapak telat jemputnya," gue melirik ke arah laki-laki yang gak muda-muda banget tapi gak tua-tua banget juga. Kayak kenal nih.
"Lah ini ngapa bapak kos segala jemput gue di sekolah?" jawab gue pelan.
"Shan? Tumben kamu teh dijemput," balas Caramel yang ikut melambaikan tangan ke arah bapak kos gue.
"Eh ... bapak kenapa ada di sini?" gue menghampiri bapak kost dengan ekspresi akward.
"Kata ibu, takut neng teh nyasar lagi pulangnya, jadi bapak disuruh jemput,"
Eh ha'ah lah, iya juga. Tapi kan ... gue mau ke pasar sama si jamet, gimana ini? Masa iya gue bilang nanti dianterin sama temen gue? Mana dia udah jauh-jauh jemput ke sini. Tapi masa gue gagal ke pasar bareng si jamet sih?
"Hah? Shana lupa arah rumah, Pak?" ikut Caramel yang sama-sama bingung juga.
Gue menggeleng pelan, "Itu ... habis pindahan,"
"Ayo Pak kita pulang! Caramel, duluan ya," gue buru-buru naik ke atas motor bapak kos. Kita langsung jalan menjauh dari gerbang sekolah. Belum seberapa jauh, gue buru-buru tepuk pundak bapak kos supaya berhentiin motornya.
"Pak, maaf ya ini mah saya gak maksud apa-apa, tap—" belum sempat gue melanjutkan kata yang keluar dari mulut gue, bunyi klakson sangkakala ... alias tuh suara gede banget di kuping gue mengagetkan diri ini dengan kaget sekaget-kagetnya.
"Punten, Pak. Maaf kalau ngagetin, hehe,"
Gue mengambil botol air yang tadi dia beliin buat gue dan langsung geplak kepalanya yang keliatan gak ada isinya itu, "Anjing lo! Gue yang kaget!"
Dia buru-buru ngelus kepalanya pelan, "Sakit! Dasar cewek gil—" si jamet melihat ke arah bapak kos yang masih setia memandang kita dengan tatapan heran.
"Cewek cantik," lanjutnya yang buat gue melotot.
Duh, kalian gak usah nanya antara satu sampai sepuluh seberapa salting diri ini. Alias YA ALLAH SALTING BANGET!
***
"Ini lo mau bawa gue ke mana sih? Itu handphone gue lo bukain apikasi apaan?"
Gue gak peduliin ucapan si jamet yang cuman bikin konsentrasi gue ke distrack. Setelah rangkaian kegiatan drama yang sedari tadi terjadi cuman untuk cari waktu biar bisa pergi ke pasar berdua sama dia, sekarang gue harus pusing sendiri karena lupa cara baca google maps.

KAMU SEDANG MEMBACA
Love and Destiny
Teen Fiction[FOLLOW SEBELUM BACA!] Shana, 23 tahun. Baginya hidup adalah perjuangan. Walaupun nyatanya, sekeras apapun kamu berjuang tidak menjamin dengan apa yang akan kamu dapatkan kedepannya. Shana berjuang hidup sebatang kara di tengah-tengah kerasnya Jakar...