Bab 3

2.9K 549 37
                                    

Cinta Putih 3

Aku tersenyum menerima amplop cokelat berisi uang yang Mas Ibnu berikan sebagai bayaran sewa rumahku selama satu tahun. Aku dan Mas Galuh datang pagi sekali ke rumah ini untuk menyapu dan membersihkan lantai sebelum Mas Ibu datang untuk melihat bagian dalam rumahku. Kami bertemu sebentar di pagi hari dengan Mas Ibnu dan menemaninya berkeliling rumah masa kecilku. Setelah sepakat dengan harga dan beberapa perjanjian lainnya, aku dan Mas Ibnu kembali tatap muka sore tadi sepulang dirinya tugas. Pertemuan sore ini hanya untuk transaksi dan tanda tangan surat perjanjian sewa yang ia buat untuk kami.

"Pulang?" tanya Mas Galuh yang sedang mengemudi sepeda motorku. Kami tidak menaiki mobil bak atau mobil pribadi Mas Galuh karena kami tidak pergi terlalu jauh. Hanya ke rumahku untuk transaksi sebentar saja, lalu pulang. Mobil bak kami parkir di kios untuk mala mini saja karena biasanya Mas Galuh pulang pergi dengan mobil bak sementara aku naik motor. Hebat kan kami? Satu tempat kerja dengan jam kerja yang sama tetapi transportasi kami berbeda. Mas Galuh yang mengatur skema ini demi alasan efisiensi waktu kerja. Aku bisa apa lagi selain pasrah?

Aku mengangguk dan mengatakan lebih baik pulang saja karena urusan hari ini sudah selesai. Namun, tak berselang lama dari jawabanku, aku menemukan ide. "Mas, mampir tongseng Pak Mul, yuk. Aku mau traktir Mas Galuh. Lagi dapat rejeki nomplok ini loh."

Mas Galuh menatapku dari spion yang kubalas dengan senyuman lima jari. Aku mengangguk dengan gestur memohon agar ia mau menerima ajakanku.

"Nurma yang traktir. Ini lebih dari cukup buat beli sate tongseng seratus porsi."

Mas Galuh tersenyum geli lalu mengarahkan kemudi sepeda motor kami ke depot sate dan tongseng yang kusebutkan.

Tepat saat motor kami sampai di depot tersebut, rintik hujan menyapa kawasan kaki gunung ini, alu berlanjut dengan rinai dengan intensitas sedang. Aku dan Mas Galuh saling pandang dengan helaan napas penuh syukur.

"Untung mampir, kalau tidak bisa basah kuyup di jalan," ucap Mas Galuh sambil menuju salah satu meja makan pengunjung depot ini. Ia memilih meja paling dalam dan ujung tembok, padahal depot ini sedang sepi. Hanya ada satu meja yang terisi pelanggan selain kami.

Aku mengikuti Mas Galuh setelah berkata pada penjual sate dan tongseng, menu yang ingin kami nikmati. Satu porsi sate kambing dan satu porsi tongseng sapi, berikut dua gelas jeruk hangat. Mas Galuh menyukai jeruk hangat sebagai teman makan apapun. Aku mengetahuinya saat sudah bekerja sebagai karyawan usaha bambunya ini. Mas Galuh awalnya tak pernah mengajakku untuk melihat bambu di pengepul dan memintaku untuk berjaga di kios saja. Namun, aku pelan-pelan mengajukan diri untuk ikut dengan alasan ingin belajar tentang jenis bambu agar lebih mudah memahami setiap transaksi yang kami lakukan.

Mas Galuh menolak gagasan itu dengan alasan aku bisa mudah sakit jika terlalu lelah perjalanan naik turun gunung hanya untuk menyortir bambu. Namun, aku berkeras dengan caraku hingga Mas Galuh mengalah dan membiarkanku menaiki mobil bak bersamanya menuju para pengepul yang bekerjasama dengan kami.

Dari beberapa kali perjalanan naik turun gunung menuju hutan bambu, aku tahu bahwa minuman kesukaan Mas Galuh adalah jeruk hangat. Setiap kami berhenti untuk makan sepulang sortir, Mas Galuh pasti memesan jeruk hangat. Semenjak itu, aku yang dipercaya memegang uang operasional kios, tanpa diperintah langsung memesan menu kesukaan Mas Galuh itu setiap kami mampir makan di luar.

"Mas mau kerupuk?" tawarku saat membawa satu keranjang plastic berisi aneka kerupuk. "Ada kerupuk kulit sama kerupuk ikan." Aku mengambil kerupuk kulit dan menikmatinya sambil menunggu pesanan kami datang.

Cinta PutihTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang