Bab 7

2.9K 576 49
                                    

"Bakpia iki pancen masterpiece, kok." Meli mengambil bakpia keju yang kubeli di Yogya. "Dari masa ke masa, isi kacang hijau atau keju, tetap rasane mantap."

Aku, Meli, dan Sri sedang duduk bersama di pinggir kebun palawija milik Mas Bobi. Mas Bobi ini bisa kubilang salah satu keluarga kaya di desa ini karena memiliki banyak tanah pertanian. Sebelas dua belas mungkin dengan keluarga Lira yang juga kaya raya karena bisnis ekspor kerajinan bambu. Sri dulu menawariku kerja di perkebunan milik Mas Bobi dan menjadi tim administrasi penjualan sayur kepada tengkulak. Aku tidak tertarik karena bagiku Mas Galuh tetap nomor satu.

Sri sudah lama kerja dengan Mas Bobi ini. Bisa dibilang sudah jadi orang kepercayaannya Mas Bobi yang menangani panen palawijanya. Sri mengajak bertemu di sini, tamasya di salah satu sudut kebun palawija. Meli membawa minuman dan aku membawa aneka oleh-oleh yang kubeli di Yogya bersama Mas Galuh kemarin.

"Kamu gandengan kayak orang pacaran gitu sama Mas Galuh? Dia belikan kamu apapun yang kamu mau?"

Aku mengangguk lagi, menjawab pertanyaan Sri yang heboh sejak tadi.

Sri menepuk tangannya. "Fiks ini fiks wes. Mas Galuh wes cinta sama kamu. Dia kasih kamu banyak makanan, belikan kamu daster di Beringhardjo, dan kalian jalan ke kopi klotok gandengan tangan. Walah, iki wes pertanda bagus ini. Siap-siap nanti malam kalian belah-belahan."

"Apa sih, Sri!" Aku menegur Sri dengan perasaan salah tingkah. Benarkah yang Sri katakan?

Sri mengambil roti sisir isi nanas dari toko kue kesukaanku di Yogya. "Analisaku sih, ya. Apa yang Mas Galuh lakukan selama kalian ke Yogya kemarin itu, kayaknya dia sudah ada rasa sama kamu, Nur. Dia gak marah kamu cium ya memang karena hal itu wajar, kan? Masalah nyaman atau tidak, itu hanya soal kebiasaan. Bahasa kerennya tuh, habitual. Tinggal membiasakan diri aja sama-sama."

Meli mengangguk. "Dan dia gak perhitungan belanjain kamu oleh-oleh sebanyak ini." Ia menatapku santai dengan wajah serius. "Mas Galuh memang kayaknya royal sama kamu, kan, sejak dulu. Tapi menurutku memang ... ini bisa dibilang pertanda dia sudah menganggap kamu bagian dari hidupnya, Nur. Menurutku, kalau kamu mengungkapkan perasaanmu sejujurnya, ya gak masalah deh. Malah, dia nyuruh kamu pake baju tidur yang biasa kamu pakai kan? Itu artinya dia sudah nyaman dan tertarik sama kamu."

"Bener, Nur." Sri menegaskan. "Mas Galuh kayaknya sudah sadar kalau dia gak mungkin lagi kembali ke Mbak Lira. Masa depannya itu ya kamu, bukan Lira."

Tatapan Sri dan Meli yang terlihat yakin, membuatku ikut meyakini apa yang kami diskusikan tadi. Mas Galuh bisa jadi sudah mulai jatuh cinta kepadaku dan tak masalah bagiku untuk menyatakan rasa. Jika tidak ada yang memulai, maka tidak akan berjalan kan?

Dering ponsel membuat obrolan kami terjeda. Mas Ibnu menghubungi, meminta tolong agar aku membersihkan rumah lagi.

"Siapa?" tanya Meli saat aku dan Sri membahas soal Mas Ibnu setelah sambunganku dan Mas Ibu selesai.

Aku menjelaskan kepada Meli tentang rumahku yang disewa Mas Ibnu dan aku yang membantu membersihkan rumah sampai menemukan orang yang tepat.

"Ganteng, gak?" tanya Meli semangat. "Aku ikut dong, Nur."

Aku mengangguk dan mempersilakan Meli ikut denganku. Ini memang sudah sore dan hari ini aku belum membuka kiosku karena Mas Galuh kelelahan dan ingin istirahat sendirian di rumah. Aku menggunakan kesempatan libur ini dengan bertemu Meli dan Sri untuk berkumpul dan curhat.

Cinta PutihTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang