Cinta Putih 5
Mobil bak yang Mas Galuh kendarai pagi tadi kembali ke kios saat waktu menunjukkan pukul setengah satu siang. Aku yang hari ini tidak masak karena Mas Galuh bilang ingin makan siang di luar, langsung menyelesaikan proses transaksiku bersama buruh petani yang memesan bambu.
"Dikirim sore nanti, ya, Pak. Mohon ditunggu. Masnya baru sampai kios dan mau istirahat sebentar." Aku tersenyum pada pelanggan ini sambil memberikan kembalian. "Nanti saya kabarin kalau bambunya sudah jalan."
Petani itu mengangguk dan mengucapkan terima kasih sebelum beranjak dari duduknya. Ia tersenyum kepada Mas Galuh dan menyapa suamiku yang berjalan dengan kaus setengah basah.
Mengendarai truk memang harus siap berkeringat. Bukan karena hawa perjalanan yang kadang terasa gerah, tapi juga konsentrasi di medan jalan yang kadang membuat keringatan sendiri. Belum lagi, kalau Mas Galuh ikut membantu bongkar bambu-bambu pesanan. Jelas dia pulang ke kios dengan penampilan seperti penebang pohon.
Aku mengambil kaus bersih yang kubawa dari rumah setiap hari dan memberikannya kepada Mas Galuh saat pria itu sudah masuk ke kios dan menghampiriku. Ia langsung masuk ke kamar mandi kios untuk membersihkan dirinya dan berganti baju. Biasanya hanya mencuci tangan, kaki, dan wajah, lalu ganti kaus saja. Ia tetap mengenakan celana yang sama meski celananya kotor debu atau sedikit lumpur.
"Jadi makan ke mangut lele Bu Sakti?" Aku bertanya sambil mengunci laci meja kios dan bersiap mengambil dompet. Mas Galuh tadi pagi memintaku untuk tidak masak karena sedang ingin makan mangut lele. Menu ini belum pernah kubuat karena aku tidak mahir mengolah ikan kecuali digoreng saja dan disajikan dengan sambal.
Mas Galuh mengangguk seraya mengusap wajahnya dengan handuk kecil yang selalu ia bawa di pundaknya. "Sudah lapar aku, Nur."
Aku mengangguk sambil beranjak dari meja kerjaku, lalu membantu Mas Galuh menutup rolling door. Setelahnya, kami menggantungkan papan kecil bertuliskan "Sedang Istirahat" di handle rolling door kios. Aku mengangsurkan kunci motorku kepada Mas Galuh yang langsung diterimanya karena kami akan ke depot Bu Sakti dengan motorku agar lebih ringkas.
Selama perjalanan singkat ini, aku memberanikan diri melingkarkan tanganku di pinggang Mas Galuh meski sebenarnya cuaca siang ini cukup panas. Mas Galuh bergerak sedikit saat tanganku melingkar sempurna di perutnya selama beberapa saat dan membuatku berfikir bahwa Mas Galuh pasti tidak nyaman dengan apa yang kulakukan. Jadi, aku melepas kembali pelukanku dan membuka ponsel seakan-akan ada pesan yang harus kubaca dan balas.
Sampai depot Bu Sakti, aku langsung memesan dua porsi mangut lele dan nasi juga eh jeruk dua gelas untuk Mas Galuh dan satu es teh tawar untukku. Kami duduk di meja yang kosong di tengah ramainya pengunjung yang sedang menikmati makan siang.
Mas Galuh tak menatapku saat aku menyusulnya ke meja yang ia pilih. Tatapannya sibuk dengan ponsel dan sesekali tersenyum sendiri. Entah tersenyum karena pesan siapa. Parto, Wiryo, Tukiman, atau ... Lira? Mas Galuh biasa bertukar pesan dengan tiga pengepul kami pada jam kerja begini. Urus masalah pengiriman partai besar atau sekedar berbagi info jika pengepul-pengepul itu menemukan bambu siap tebang. Namun, Parto, Wiryo, dan Tukiman biasanya tak bercanda saat membahas pekerjaan. Entah jika Lira.
Aku menatap Mas Galuh dengan perasaan menyesal, mengapa membuatnya tak nyaman dengan kelancanganku memeluknya di motor tadi. Aku hanya ingin menuruti perintah Ibu dan masih mengingat tangisnya minggu lalu. Aku ingin mencoba lebih dekat dengannya tapi tak berani memaksa.
Dering ponsel membuatku teralihkan dari tatapanku pada Mas Galuh. Aku mendapati Mas Ibnu menghubungi. Ada apa gerangan? Apa ada masalah di rumahku yang disewanya?
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta Putih
RomanceMenikah dengan Mas Galuh seperti mimpi yang jadi nyata bagiku. Ia kembali ke desa ini dan membuka kembali bisnis usaha bambu milik ayahnya yang sempat tutup. Kami menikah karena ibu Mas Galuh yang meminta. Sayangnya, sampai tiga bulan pernikahan kam...