Bab 12

3.1K 508 47
                                    

Guys, maaf! Aku minggu lalu gak update ya ternyata. Lupaaa huhuhuu maafin yaaa ... hari ini double berarti. Eh 3 bab langsung deh, satunya bonus minta maaf hehehe. Happy reading.


***** 


Cinta Putih 12

Aku tahu aku akan kena marah dan disalahkan atas apa yang kulakukan. Aku tidak menyangka Mas Galuh datang lebih cepat dari yang kupikirkan. Ini masih sore dan kupikir Mas Galuh masih akan mengurusi bambu wulung pesanan Lira. Aku buntu. Aku butuh masuk rumah tapi kunci rumah hilang. Mas Galuh pasti tadi ingin masuk rumah tapi terkunci hingga menunggu di gazebonya. Salahku yang ceroboh dan aku harus siap kena marah lagi.

Aaah, sial banget sih, aku! Ingin menyendiri dan ganti baju karena kedinginan, tapi harus mengaku salah pada Mas Galuh karena menghilangkan kunci rumahnya. Rasanya ingin kembali masuk ke tengah hujan dan menghilang saja.

Ujung jariku keriput karena aku terlalu lama berdiri basah kuyup. Tak ada lagi cara yang bisa kupikirkan selain memasuki gazebo dan memanggil Mas Galuh. Siap tak siap, aku harus berani menghadapi konsekuensi dari kesalahanku. Aku melangkah pelan menembus hujan menuju gazebo yang terpisah dari rumah utama, menaiki lima anak tangga hingga sampai di teras gazebo dan berdiri di ambang pintu gazebo itu.

Mas Galuh duduk di meja lesehannya yang menghadap tembok. Pria itu menunduk bertopang kaitan kedua tangannya yang berpangku di atas meja. Tatapannya menerawang serius seakan tengah memikirkan banyak hal.

Petir yang menyambar kencang membuatku memberanikan diri memanggilnya. Aku tidak mungkin lama-lama di luar dengan kondisi cuaca ekstrim.

"Mas."

Mas Galuh tersentak lantas menatapku yang menggigil kedinginan di ambang pintu gazebo. Ia tak bicara, hanya menatapku dengan sorot menilai seakan tengah menimbang dosa dan pahalaku sepanjang berada si sisinya.

Tanganku gemetar kedinginan. Aku bersedekap dada demi menciptakan sedikit kehangatan untuk tubuhku yang basah kuyup dalam waktu cukup lama. Aku yakin aku akan sakit setelah ini.

"Kamu sedang apa?" Mas Galuh berdiri dari duduknya, lalu menghampiriku yang masih mematung seperti patung selamat datang di depan pintu.

"Nurma—Nurma minta maaf. Kunci rumah hilang. Nurma pasti menjatuhkannya entah dimana. Nurma habis dari kebun Mas Bobi dan pulang kehujanan. Nurma tahu Nurma salah." Mas Galuh mengambil satu tanganku yang bersedekap dada lalu menarikku masuk ke dalam gazebonya. Untuk pertamakalinya aku masuk ke ruang paling pribadi Mas Galuh tanpa ditegur atau diusir. "Nurma salah. Nurma minta maaf, tapi Nurma bingung harus bagaimana. Hujannya lebat tapi Nurma gak bisa masuk rumah."

Bibirku gemetar. Entah karena kedinginan atau ketakutan karena aku sudah membuka semua kesalahanku. Aku menghilangkan kunci rumah Mas Galuh dan kini tak bisa masuk dalam kondisi basah kuyup. Aku masuk ke ruang paling pribadinya dalam kondisi basah dan mengotori lantai bambu yang paling suka ia duduki seorang diri.

Ketakutan ini membuatku ingin menangis. Penglihatanku sudah memburam meski mati-matian aku mencoba agar tak menangis lagi.

"Nurma minta maaf, Mas. Nurma salah. Mas—boleh hukum Nurma." Aku mencicit dengan bibir yang gemetar.

Mas Galuh masih menatapku tajam yang kuartikan ia sedang menahan amarah. Aku memejamkan mata dan pipiku langsung basah air mata. Aku siap menghadapi hukuman apapun yang Mas Galuh berikan karena ini murni kesalahan dan kebodohanku.

"Maaf, Mas ...." Aku membuka mata dan berharap Mas Galuh bisa mempercayai penyesalanku. Namun, saat aku membuka mata, wajah Mas Galuh terasa sangat dekat dan bibirku yang gemetar disentuh oleh bibirnya yang terasa hangat.

Cinta PutihTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang