Cinta Putih 11
Ibu sesak napas dan tubuhnya gemetar. Dengan sigap, Mas Galuh membawa Ibu ke kamar tamu yang memang biasa Ibu gunakan saat sedang menginap di sini. Ia menutup pintu setelah masuk bersama Ibu, meninggalkanku sendiri yang masih duduk terpekur penuh penyesalan.
Aku tidak menyesal atas apa yang kuinginkan. Aku menyesali kondisi Ibu yang terlihat hancur karena permintaanku untuk mengakhiri pernikahan ini. Niatku baik. Aku hanya ingin Mas Galuh bahagia dan tak terbebani oleh kehadiranku dan status hubungan kami. Namun, mengapa Ibu tidak memahami dan terpuruk hanya karena keinginanku? Mengapa Mas Galuh terlihat murka dan membentakku dengan teriakan yang menggelegar?
Rumah ini sepi. Tangis Ibu tak lagi terdengar, menyisakan isak lirih yang masih merajaiku. Aku meliarkan pandanganku ke seluruh ruangan ini dan bertanya apakah benar tempat ini adalah persinggahanku yang terakhir. Rumah ini nyaman, sejuk, dan menenangkan tetapi hubungan yang terjalih di dalamnya tak membuatku bahagia.
Mataku menangkap kantung plastic hitam yang teronggok di satu sudut lantai. Aku melangkah gontai mendekati plastic yang sekitarnya basah. Air mataku kembali merebak saat mengangkat kantung plastic itu dan mendapati lauk ayam bakar dan sup iga di dalamnya. Kuah sup iga tumpah karena platik pembungkusnya bocor dan ayam bakar dalam kotak kertas jadi basah.
Aku membawa kantung plastic itu ke dapur dan menuangkan sisa sup iga yang masih bisa diselamatkan. Ayam ini juga harus dimasak ulang agar tetap bisa dimakan. Makanan ini pasti alasan Mas Galuh ada di rumah siang ini. Ia tahu Ibu menemaniku di sini dan ia ingin memberikan Ibu makanan enak.
Suara pintu terbuka membuatku mematung sesaat. Jantungku berdegup sangat kencang dan tanganku dingin gemetar. Aku mematikan kompor yang menghangatkan sup iga berkuah sedikit itu dan meletakkan ayam di piring. Setelahnya, aku memberanikan diri berbalik dan menatap Mas Galuh yang berdiri tegap beberapa langkah di depanku.
Wajahnya mengeras dan tegang. Di mataku, Mas Galuh sangat menakutkan. Sepanjang aku bekerja dengannya hingga menjadi istri, aku belum pernah melihat Mas Galuh semenakutkan ini. Ada rona kemerahan di wajahnya, tapi bukan karena malu. Merah itu amarah dan kebencian yang bisa kulihat dari sorot tajam tatapannya kepadaku.
Tubuhku gemetar, air mataku merebak tanpa bisa kucegah dan tenggorokanku terasa seperti dicekik, padahal tak ada yang menyentuhku.
"Maa—maaf, Mas." Pipiku basah oleh derasnya air mata. Bibirku terasa kaku hingga sulit untuk bicara. Udara di rumah besar ini seperti hilang entah kemana dan aku tersiksa seperti tenggelam di tempat yang tak ada tepinya.
Mas Galuh masih terdiam dengan dengan tubuh mematung dan tegap. Matanya terus menatapku dengan tajam seakan mengulitiku hidup-hidup. Ia melangkah, mendekatiku dan pergerakan itu membuatku semakin ketakutan hingga aku memutuskan untuk berjongkok dan menyembunyikan wajahku dalam tangkupan tangan.
Aku menangis kencang, meraung, dan melepaskan semua ketakutan dan kekalutan. Aku bisa merasakan Mas Galuh berdiri tepat di depanku, seperti siap menghujamku dengan senjata tajam hingga aku mati. Aku tahu aku salah karena membuat Ibu menangis hingga sesak, tetapi aku ingin mereka tahu bahwa semua itu kulakukan demi kebahagiaan orang yang kucinta.
"Ah!" Aku beteriak kaget saat tangan Mas Galuh menyentuh lenganku. Ia tak melakukan apapun, hanya menyentuh tubuhku yang gemetar. Aku memberanikan diri mendongak, menatap wajahnya meski penglihatanku kabur karena air mata. "Nur—bisa jelaskan. Nur minta maa-aaf, Mas."
Mas Galuh menatapku dengan sorot mata yang tak bisa kubaca maknanya sebelum ia menarikku dengan lembut hingga aku tersungkur dalam pelukannya. Ia duduk di depanku, memelukku, dan mendekapku dengan sabar hingga tangisku reda.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta Putih
RomanceMenikah dengan Mas Galuh seperti mimpi yang jadi nyata bagiku. Ia kembali ke desa ini dan membuka kembali bisnis usaha bambu milik ayahnya yang sempat tutup. Kami menikah karena ibu Mas Galuh yang meminta. Sayangnya, sampai tiga bulan pernikahan kam...