Bab 4

2.7K 533 37
                                    

"Nur, aku jalan." Mas Galuh berpamitan saat aku masih memotong kacang panjang.

Pagi kami memang biasa seperti ini. Mas Galuh akan berangkat ke kios duluan menaiki mobil bak, sementara aku menyusul kurang dari satu jam kemudian. Aku biasa masak bekal dulu dari rumah dan mempersiapkan kebutuhan kios yang sudah habis, seperti produk sanitasi, alat tulis, tali tambang dan material untuk pengiriman, atau sekedar voucher Listrik yang harus kami isi ulang pada meteran. Sementara Mas Galuh berangkat lebih pagi untuk muat bambu-bambu yang sudah dijadwalkan kirim hari ini setelah membersihkan lantai kios. Hal ini mempermudah sistim kerja kami. Saat aku sampai kios, mobil bak sudah siap jalan dan aku tinggal memasukkan rantang plastic berisi bekal makan siang Mas Galuh. Tidak lupa jeruk peras yang kusimpan dalam termos ukuran 1 liter dengan kemampuan menyimpan suhu dingin sampai 12 jam. Setelahnya, Mas Galuh meninggalkan kios untuk melakukan pengiriman dan aku menjaga kios untuk menerima pelanggan yang datang.

Aku meninggalkan pisau dan sayuran demi mengejar Mas Galuh yang sedang berjalan menuju garasi mobil. Aku mengernyit saat Mas Galuh melewati mobil bak kami dan malah menaiki SUVnya. "Mas mau kemana?" Seharusnya ia menaiki mobil bak L300 yang biasa dipakai mengirim pesanan bambu, bukan mobil bagusnya yang berharga cukup tinggi itu.

Mas Galuh berbalik saat mendengar pertanyaanku. "Ke Galeri Panda. Lira barusan telepon, minta bicara masalah pasokan bambu."

Keningku makin mengerut. "Bicara kan bisa di telepon, Mas. Biasanya kalau butuh bambu tinggal pesan dan kita antar, kan?" Lagipula, kenapa harus menggunakan Terios? Galeri Panda tidak jauh dari kios dan rumah ini, sementara mobil itu dibeli untuk kebutuhan Ibu apabila butuh diantar ke tempat yang jauh. "Kalau Mas naik itu, pengiriman hari ini gimana?"

"Aku sudah minta Parto yang melakukan pengiriman, kita tinggal bayar bensin saja ke dia. Sudah aku atur."

"Memangnya tidak bisa Mas sendiri yang antar?" Aku sebenarnya tidak masalah jika Mas Galuh meminta pengepul langsung yang mengantar hingga ke pelanggan. Hal ini kami lakukan jika mendapat jumlah pesanan bambu yang banyak sekali dan mobil kami tidak bisa menampung. Pengepul memiliki truk bak kayu besar yang bisa muat hingga lima ratus batang bambu. "Bukannya hari ini tidak ada pengiriman partai besar ya?" Seingatku begitu, karena aku yang merekap penjualan harian dan hapal betul jadwal kirim harian dari rekapan tersebut.

"Aku jalan." Mas Galuh tak menanggapi ucapanku dan lanjut menaiki mobilnya. Mobil itu menyala sebentar sebelum keluar garasi dan meninggalkan rumah kami.

Aku menghela napas panjang dan kembali ke dapur untuk membuat bekal makan siang. Lira. Perempuan itu memang sejak dulu dekat dengan Mas Galuh. Kami semua tahu, satu SMA tahu, dan mungkin langit dan bumi juga tahu. Lira adalah satu-satunya perempuan yang selalu dekat dengan Mas Galuh saat SMA. Mas Galuh kelas tiga saat aku baru masuk SMA dan jatuh cinta kepadanya. Lira dan Mas Galuh dikabarkan menjalin hubungan asmara saat SMA dan tidak ada yang membantah berita itu.

Saat aku lulus SMA, aku mendengar kabar Lira menikah dengan seorang pengusaha eksportir. Aku menyaksikan pernikahan itu karena ibuku bekerja pada orangtua Lira sebagai pembantu saat acara pernikahan berlangsung mulai dari pengajian, siraman, hingga resepsi. Aku yang saat itu penasaran, memaksa ikut Ibu hanya untuk bertemu Mas Galuh, tapi tak mendapatinya ada di acara Lira.

Tiga tahun setelah pernikahan Lira, aku mendengar Mas Galuh kembali ke desa ini dan menghidupkan kembali usaha bambu yang sempat tutup sejak ayahnya meninggal. Sri dan Meli yang paling heboh dan penasaran bagaimana hubungan Lira dan Galuh setelah pernikahan salah satu diantara mereka. Aku yang tadinya tak ingin lagi berharap pada cinta masa SMA, tiba-tiba kembali merindukan dan menginginkan pria yang aku sendiri tak yakin bisa kutaklukan.

Cinta PutihTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang